BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Definisi Psikologi Pendidikan
Pengertian dan definisi Psikologi Pendidikan dapat dilihat dari dua sudut yakni etimologi dan terminologi. Menurut etimologi (asal usul kata) Psikologi Pendidikan dapat dijabarkan dalam dua kata yakni “Psikologi” dan “Pendidikan”. Psikologi pertama secara etimologi adalah istilah hasil peng-Indonesia-an dari bahasa asing, yakni bahasa Inggeris “Psychology”. Istilah psychologi sendiri bersal dari kata kata Yunana “Psyche”, yang dapat diartikan sebagai roh, jiwa atau daya hidup, dan “logis” yang dapat diartikan ilmu. Kedua secara terminologi maka psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang memperlajari atau menyelidiki pernyataan pernyataan (A. Sujanto : 1985, 1).
Gejala jiwa yang dijadikan obyek pembahasan dalam psikologi ada empat macam yakni; gejala pengenalan (kogunisi), gejala perasaan (emosi), gejala kehenak (konasi), dan gejala camouran (kombinasi). (M. Dim yati : 1990,2).
Pendidikan yang berasal dari kata didik dalam bahasa Indonesia juga hasil dari transeletasi peng-Indonesia-an dari bahasa Yunani yaitu “Peadagogie”. Etimologi kata Peadagogie adalah “pais” yang artinya “Anak”, dan “again” yang terjemahannya adalah “bimbing”. Jadi terjemahan bebas kata peadagogie berarti “bimbingan yang diberikan kepada anak”. Menurut termonologi yag lebih luas maka pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tujuan hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sadirman N : 1992, 4).
Penelusuran makna dua kata psikologi dan pendidikan di atas dapat dijadikan dasar untuk melihat lebih jauh pengertian dan defenisi psikologi pendidikan. Dengan maksud untuk memahami lebih luas psikologi dan pendidikan dari sudut masing masing, berikut beberapa defenisi Psikologi Pendidikan yang pernah dikemukakan para ahli.
Menurut Crow & Crow ; Educational psychology deseribesa and explains the learning experiencess of an individual from birth though old age. Its subject matter is concerned with the conditions that efect learning (Crow & Crow : 1958,7). Crow & Crow menegaskan bahwa Psikologi merupakan suatu ilmu yang menerangkan masalah belajar pada seorang anak sejak lahir sampai usia lanjut, termasuk didalamnya kondisi yang mempengaruhi belajar. Kemudian Barlow memberikan batasan Psikologi Pendidikan sebagai berikut : ..... a body of knowladge grounded in psychological research which provides a repertioire of resoucers to aid you in functioning more effectively in teaching learning process (Barlow : 1985).
Makna dari kutipan tersebut adalah bahwa Psikologi Pendidikan sebagai sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologi dengan rangkaian sumber sumber untuk membantu anda melaksanakan tugas tugas sebagai guru dalam proses belajar mengajar secara efektif.
Bagian berikut ini Witherington menegaskan pengertian Psikologi Pendidikan sebagai berikut : A Systematic study of the process and factor involvidin the education of human being called educational psychology (Witherington : 1952). Terjemahan Indonesianya adalah bahwa Psikologi Pendidikan merupakan studi sistematis tentang proses proses dan faktor faktor yang berhubungan dengan manusia.
Dari ketiga definisi di atas penulis anggap dapat mewakili banyak defenisi yang dikemukakan para ahli. Untuk itu sedikitnya ada tiga hal penting yang harus dijelaskan dari pengertian Psikologi Pendidikan yakni :
1. Psikologi Pendidikan adalah pengetahuan kependidikan yang didasarkan atas hasil hasil temuan riset psikologi.
2. Hasil hasil riset psikologi tersebut kemudian dirumuskan sehingga menjadi konsep konsep, teori teori, dan metode metode serta strategi strategi yang utuh.
3. Konsep, teori, metode dan strategi tersebut kemudian disistematisasikan hingga menjadi “repertoire of resources”, yakni rangkaian sumber yang berisi pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan untuk praktik praktik kependidikan khususnya dalam hal belajar mengajar.
Merumuskan berbagai pendapat di atas, Psikologi Pendidikan jelas hadir dari pengembangan riset psikologi pada umumnya untuk kepentingan pendidikan. Dengan dasar ini dapat ditegaskan defenisi dan pengertian Psikologi Pendidikan yakni; suatu cabang ilmu jiwa yang membahas tingkah laku anak pada proses pendidikan.
B. Psikologi Pendidikan sebagai Disiplin Ilmu
Kerangka kerja ilmu sebagai sebuah pengetahuan ilmiah didasarkan pada tiga syarat utama yakni; obyek, metode dan sistematika (Jujun S. Suriasumantri:1984). Kualifikasi dari tiga syarat inilah yang menjadi satu disiplin ilmu diteri dijajaran ilmu ilmu lainnya sebagaii sebuah disiplin yang berdiri sendiri atau tidak. Psikologi Pendidikan yang membidangi kajian praktis tentang kependidikan memiliki kapling yang sepesifik yakni sebagai berikut :
1. Obyek
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh obyeknya. Ada dua macam obyek ilmu pengetahuan, yaitu obyek materia dan obyek forma. Obyek materia ialah seluruh lapangan atau bahan yang diajadikan obyek penyelidikan suatu ilmu, sedangkan obyek forma ialah obyek materia yang disoroti oleh suatu ilmu sehingga membedakan ilmu sutu dengan ilmu lainnya, jika berobyek materia sama. (E.S. Ansari:1987).
Dalam Psikologi Pendidikan pembagian obyek pembahasan ini sebagai berikut:
a. Obyek materia
Obyek materia Psikologi Pendidikan adalah sama dengan psikologi lainnya berupa penghayatan dan tingkah laku manusia.
b. Obyek forma
Obyek forma dari Psikologi Pendidikan ini adalah aspek study tentang human behacior dan human relanship dalam bidang atau dari sudut tinjauan kependidikan. Kongkritnya adalah proses membimbing, mengajar dan melatih anak dalam dunia pendidikan (Tadjab:1994).
2. Metode
Metode yang digunakan dalam Psikologi Pendidikan tidak jauh berbeda dengan psikologi lainnya, hanya lebih diarahkan pada upaya peningkatan kemampuan guru dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Pada dasarnya metode itu meliputi usaha mengumpulkan data, pengolahannya dan penyimpulannya. Beberapa metode yang lazim digunakan dalam psikologi pendidikan adalah sebagai berikut :
a. Metode Observasi
Adalah metode yang dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap tingkah laku peserta didik dalam situasi yang wajar, dilaksanakan dengan berencana, kontiniu dan sistematik serta diikuti dengan upaya mencatat atau merekam secara lengkap.
b. Metode Eksperimen dan Tes
Metode esperimen adalah dengan sengaja menciptakan situasi buatan dalam pendidik dan dalam situasi itu ditempatkan subyek penelitian tertentu. Sementara itu metode dilakukan dengan memberikan tugas yang harus dilakukan oleh subyek, baik tugas tertulis maupun tugas lisan.
c. Metode Kuestioner dan Interview
Mmetode ini disebut juga angket dimana berupa daftar yang memuat sejumlah pertanyaan yang disampaikan kepada subyek untuk dikerjakan (dijawab) kemudian hasil jawabannya dianalisa dan disimpulkan.
d. Metode Studi Kasus
Metode ini adalah satu hal, kejadian atau peristiwa yang dialami olehs eorang peserta didik sebahai klien yang baik pendidikan merupakan problem awal sampai akhir memerlukan tatanan yang rapi dan ilmiah, sistematika inilah yang disebut metode studi kasus.
e. Metode Sosiometri
Metode ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana tingkat intensitas hubungan sosial seorang anak. Dengan metode ini akan dapat diketahui pakah seorang peserta didik memiliki rasa sosial atau justru terisolasi dari teman temannya.
f. Metode Statistik
Metode ini lebih diarahkan untuk menganalisa dan menarik kesimpulan dari metode metode sebelumnya. Analisa statistik sebagai satu rangkaian proses kegiatan ilmiah mempunyai kedudukan penting dalam pembahasan Psikologi Pendidikan. (A. Thontowi:1993).
3. Sistematika
Mengingat Psikologi Pendidikan merupakan ilmu yang memusatkan dirinya pada penemuan dan aplikasi prinsip dan teknik psikologi kedalam pendidikan, maka ruang lingkup Psikologi Pendidikan mencakup topik topik yang erat hubungannya dengan pendidikan.
Penelitian tentang ruang lingkup pembahasan Psikologi Pendidikan ini pernah dilakukan oleh Samuel Smith terhadap 18 buah buku pada tahun 1953 di Amerika yang hasilnya mencakup 16 pokok bahasan utama (Pintner R: 1951).
Merujuk dari taat kerja yang dilakukan oleh Samuel Smith di atas penulis telah meneliti sebanyak 22 buah buku yang dianggap representatif sebagai literatur yang beredar di Fakultas Tarbiyah. Adapun sistematika Psikologi Pendidikan yang menjadi kesimpulan peneliti tersebut terdiri dari 8 bagian utama adalah sebagai berikut:
1. Pengertian dan ruang lingkup Psikologi Pendidikan
- Pengertian dan sejarah
- Obyek, metode dan sistematika
- Kedudukan dan hubungannya dengan ilmu lain
2. Peranan Psikologi Pendidikan dalam dunia pendidikan
- Peran utama dan tujuan utama Psikologi Pendidikan
- Fungsi praktis Psikologi Pendidikan bagi guru
- Kedudukan psikologi dalam proses belajar mengajar
3. Teori teori Psikologi Belajar
- Pengertian dan tujuan belajar
- Jenis jenis belajar
- Teori teori belajar
4. Pertumbuhan dan perkembangan manusia
- Mengenal gejala fisik dan psikhis
- Persamaan dan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan
- Fungsi pertumbuhan dan perkembangan dalam belajar
5. Pembawaan dan lingkungan dalam proses belajar
- Teori psikologi empirisme, nativisme, konvergensi
- Pendayagunaan potensi belajar
- Kedudukan dan peran pembawaan dan lingkungan dalam belajar
6. Ciri ciri kematangan dalam belajar
- Beberapa teori psikologi kepribadian
- Ciri dan gelaja kematangan mental
- Kematangan sebagai tujuan proses belajar
7. Kemampuan dan intelegensi
- Penegertian dan jenis kemampuan
- Sejarah dan pengukuran intelegensi
- Peranan intelegensi dalam pembelajaran
8. Tipe tipe dan kesulitan belajar
- Pengertian dan jenis kesulitan belajar
- Faktor penyebab kesulitan belajar
- Upaya pembinaan menghadapi kesulitan belajar
C. Kedudukan dan Hubungan Psikologi Pendidikan dengan Ilmu Lain
Dalam struktur filsafat ilmu pengetahuan suatu obyek dapat didekati dari berbagai sudut pandang sesuai dengan sasaran dan tekanan pembahasan yang akan dilakukan. Diantara bidang ilmiah dari ilmu pengetahuan adalah filsafat fisika, filsafat astronomi,. Filsafat biologi dan filsafat ilmu ilmu sosial. (M.D.Ghony:tt).
Prinsip di atas menggambarkan bahwa dalam satu disiplin ilmu selalu terlahir adanya percabangan dari induk ilmu yang ada sebelumnya. Untuk mengetahui kedudukan dan hubungan satu disiplin ilmu seperti Psikologi Pendidikan, maka ada dua pendekatan yakni; pendekatan deduktif dan pendekatan induktif.
Pendekatan deduktif disini maksudnya melihat satu proses keilmuan dari induk (akar) sampai kepada lahitnya Psikologi Pendidikan. Pendekatan induktif maksudnya melihat bidang kajian praktis yang nyata kaitan antara Psikologi Pendidikan dengan ilmu lainnya.
- Pendekatan Deduktif
Sistem pencabangan pengetahuan pertama sekali diawali dari induk pengetahuan filsafat yang terdiri atas tiga bidang kajian utama yakni; filsafat alam (geosentris), filsafat manusia (antroposentris) dan filsafat Tuhan (theosentris). Semakin praktisnya kajian filsafat tersebut maka lahirlah disiplin keilmuan yakni geosentris menjadi geologi, antroposentris menjadi antropologi dan theosentris menjadi teologi.
Dalam perkembangan selanjutnya menurut Christian Wolff percabangan filsafat tersebut mengarah pada; filsafat ketuhanan, filsafat kejiwaan dan filsafat kealaman. (J.S. Suriasumantri:1983).
Sementara itu di Indonesia sendiri pengelompokan ilmu pengetahuan dari yang diformalkan lewat fakultas fakultas di perguruan tinggi adalah dengan empat bidang kajian yakni :
a. Ilmu agama/kerohanian
b. Ilmu Kebudayaan
c. Ilmu Sosial
d. Ilmu Eksakta dan teknik (M.D.Ghony:tt)
Dalam pembagian yang lebih awalnya adalah dari sistem pengetahuan yang utuh diklasifikasi menjadi empat yakni; filsafat agama dan seni. Kemudian ilmu dibagi menjadi ilmu alam, ilmu ketuhanan dan ilmu kemanusiaan. Dari ilmu kemanusiaan inilah terlahir apa yang disebut dengan ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan ilmu ilmu sosial lainnya. Rangkaian tersebut tentu juga masih ditemukan pembahasan yang tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Bila disistematisir lagi maka tuntutan sejak pengetahuan – ilmu – ilmu kemanusiaan – ilmu pendidikan dan ilmu jiwa khusus akhirnya terdapatlah ilmu jiwa pendidikan (Psikologi Pendidikan). Hal tersebut digambarkan sebagai berikut:
PENGETAHUAN | | | | | |
Filsafat | Agama | | | | |
Seni | Ilmu | | | | |
| Ilmu Ketuhanan | | | ||
| Ilmu Kealaman | | | ||
| Ilmu Kemanusiaan | Ilmu Pendidikan | |||
| | Ilmu Jiwa | Umum | ||
| | | Khusus | ||
| | | | ||
| | PSIKOLOGI PENDIDIKAN |
Gambar 1
Psikologi Pendidikan Sebagai Disiplin Ilmu
Jadi jelasnya Psikologi Pendidikan adalah berinduk kepada psikologi secara umum yang digunakan/difungsikan untuk kepentingan dunia pendidikan.
- Pendekatan Induktif
Pendekatan yang lebih mengarah kepada fungsi praktis sekaligus menjabarkan bahwa perbedaan antara ilmu ilmu yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan hanyalah perbedaan pada tekanan. Adalah tidak mungkin untuk menarik garis yang tegas pembeda antara antropologi, sosiologi, psikologi dan fisiologi dalam kaitan dengan Psikologi Pendidikan. Dimana ketiganya mempunyai saling keterkaitan yang erat sekali. (M.Ngalim Purwanto:1987).
Tiga disiplin ilmu yang mempunyai hubungan fungsional dengan Psikologi Pendidikan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Psikologi Pendidikan dengan Antropologi
Antropologi adalah ilmu tentang manusia dari seluk beluk kebudayaan, kepribadian, typikal yang terdapat dalam individu dan kelompok masyrakat tertentu. Pembahasan ini jelas memiliki kaitan erat untuk kepentingan Psikologi Pendidikan ingin menyikap tabir kepribadian anak dalam hal; memahami, membina, mengembangkan, mengarahkan serta mengelompokkan.
Dengan dasar tersebut antropologi dan Psikologi Pendidikan memiliki kaitan fungsional yang lebih praktis untuk menemukan gejala kejiwaan dari sudut latar belakang dan kebudayaan.
b. Psikologi Pendidikan dengan Fisiologi
Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari fungsi fungsi berbagai organ yang ada dalam tubuh manusia dan berbagai sistem peredaran darah dan lain sebagainya. Sementara itu psikologi juga akan membahas adanya satu interaksi antara aspek biologis dan psikologi sebagai satu kesatuan gejala dalam dunia pendidikan.
Dalam pendekatan fungsional, maka kedua disiplin ilmu ini dapat lebih mengarah pada satu proses saling mengisi dan melengkapi untuk pembahasan gejala pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental peserta didik atau anak.
c. Psikologi Pendidikan dengan Didaksologi
Didaksologi adalah ilmu yang mempelajari proses interaksi pendidikan dan pengajaran, dari upaya penciptaan suasana belajar, komunikasi dan interaksi antara pendidik dan peserta didik, sampai evaluasi kependidikan.
Psikologi Pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu pendidikan yang perlu dipejari oleh calon guru atau oleh guru umumnya dalam rangka meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan tugas tugas kependidikan. (Oemar Hamalik:1992;12). Pada bidang Psikologi Pendidikan kepentingan dunia pendidikan baik prinsip maupun teknis jelas tidak dapat dipungkiri, pembahasan didaksologi menjadi lapangan utama dari Psikologi Pendidikan ini, baik dengan cara memadukan teori dan prinsip maupun dengan melihat adanya sintesa dan analisa dari dua disiplin ilmu tersebut merupakan proses utama dalam perkembangan Psikologi Pendidikan.
BAB II
PERSOALAN BELAJAR
A. Pengertian dan Tujuan Belajar
Belajar adalah syarat mutlak untuk menjadi pandai dalam semua hal, baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun dalam hal bidang keterampilan atau kecakapan. Seorang bayi misalnya, dia harus belajar berbagai kecakapan terutama sekali kecakapan motorik seperti; belajar menelungkup, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan. Berikut beberapa defenisi belajar menurut para ahli : Belajar adalah satu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingahlaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. (Slameto:1988).
Pengertian belajar adalah : Learning is the process by which behavior (in the broader sense originated of changer through pracice or training). Artinya belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan. (Abu Ahmadi dkk:1991).
Ciri ciri kematangan belajar adalah :
a. Aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual, maupun potensial.
b. Perubahan itu pada dasarnya berupa didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
c. Perubahan itu terjadi karena usaha. (Nuhi Nst:1993).
Belajar dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja dengan guru atau tanpa guru, dengan bantuan orang lain, atau tanpa dibantu dengan siapapun. Belajar juga diartikan sebagai usaha untuk membentuk hubungan antara perangsang atau reaksi. (Mustaqin:1991;60). Belajar dilakukan oleh setiap orang, baik anak anak, remaja, orang dewasa maupun orang tua. Belajar berlangsung seumur hiduo, selagi hayat dikandung badan.
Berbagai defenisi (rumusan) tentang belajar telah dikemukakan oleh para ahli, yang semuanya sepakat bahwa belajar itu bertujuan untuk mengadakan perubahan. Jelasnya belajar dapat didefenisikan yaitu : Suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup; perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya. Dari defenisi tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Belajar adalah suatu usaha, yang berarti perbuatan yang dilakukan secara sungguh sungguh, sistematis, dengan mendayagunakan semua potensi yang dimiliki, baik fisik maupun mental.
2. Belajar bertujuan untuk mengadakan perubahan di dalam diri antara lain perubahan tingkah laku diharapkan kearah posotif dan kedepan.
3. Belajar juga bertujuan untuk mengadakan perubahan sikap, dari sikap negatifm menjadi positif, dari sikap tidak hormat menjadi hormat, dan sebagainya.
4. Belajar juga bertujuan mengadakan perubahan kebiasaan dari kebiasaan buruk, menjadi kebiasaan baik. Kebiasaan buruk yang harus dirubah tersebut untuk menjadi bekal hidup seseorang agar ia dapat membedakan mana yang dianggap baik ditengan tengan masyarakat untuk dihindari dan mana pula yang harus dipelihara.
5. Belajar berutujuan mengadakan perubahan pengetahuan tentang berbagai bidang ilmu, misalnya tidak tahu membaca menjadi tahu membaca, tidak dapat menulis jadi dapat menulis , dari tidak tahu berhitung menjadi tahu berhitung, dari tidak tahu berbahasa Arab menjadi bisa berbahasa Arab.
6. Belajar dapat mengadakan perubahan dalam hal keterampilan, misalnya : keterampilan bidang olah raga, bidang kesenian, bidang teknik dan sebagainya.
Dari uaraian di atas, kiranya cukup jelas bahwa belajar adalah salah satu kegiatan.usaha manusia yang sangat penting dan harus dilakukan sepanjang hayat, karena melalui usaha belajarlah kita dapat mengadakan perubahan (perbaikan) dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan diri kita. Dengan kata lain, melalui usaha belajar kita akan dapat memperbaiki nasib melalui belajar kita akan dapat sampai kepada cita cita yang senantiasa didambakan. Oleh sebab itu maka belajar dalam hidup dan kehidupan mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis untuk mengarahkan meluruskan dan bahkan menentukan arah kehidupan seseorang.
B. Faktor Faktor yang mempengaruhi Belajar
Belajar adalah sebuah proses kegiatan atau aktivitas yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengelaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Keadaan keadaan yang mengiringi kegiatan tersebut jelas mempunyai andil bagi proses dan tujuan yang dicapai, maka hal itu disebut dengan faktor faktor yang mempengaruhi belajar.
Berhasil tidaknya seorang dalam belajar bertanggung jawab pada banyak faktor, antara lain; kondisi kesehatan, keadan inteligensi dan bakt, keadaan, minat dan motivasi, cara belajar siswa, keadaan keluarga dan sebagainya. (anwar Bey:1994;85). Di bawah ini akan dikemukan secara ringkas faktor faktor yang turut menuntukan (mempengaruhi) belajar tersebut dapat dilihat dari dua faktor yakni :
1. Faktor faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan ini masih lagi dapat digolongkan menjadi dua golongan dengan catatan bahwa overleapping tetap ada yaitu :
a. Faktor faktor non sosial, dan
b. Faktor faktor sosial
2. Faktor faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar, dan inipun dapat lagi digolongkan menjadi dua golongan yaitu :
a. Faktor faktor fisiologis, dan
b. Faktor faktor psikologis, (Sumadi Surybrata:1989,249).
Sementara itu pendekatan dari proses belajar sebagai sebuah sistem, dan dengan dasar tersebut maka belajar dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni :
a. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang kita sebut faktor individual.
b. Faktor yang diluar individu yang kita sebut faktor sosial.
Yang termasuk kedalam faktor individual antara lain; faktor kematangan/pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi. Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial. (M. Ngalim Purwanto:1987,106).
Empat faktor utama yang dijadikan uraian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor faktor non sosial
Faktor faktor ini dapat dikatakan juga tidak terbilang banyak jumlahnya seperti keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu pagi, atau siang, malam, letak tempat, alat alat yang dipakai untuk belajar dengan kata lain alat alat pelajaran. Hal tersebut harus diatur sedemikian rupa, diusahakan agar dapat memenuhi syarat syarat menurut pertimbangan didaktis, psikologi dan paedagogis.
2. Faktor faktor sosial
Faktor ini adalah faktor manusia baik manusianya itu ada (hadir) ataupun tidak hadir. Kehadiran orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak sekali mengganggu situasi belajar. Umpama suatu kelas sedang mengerjakan ujian, kemudian mendengar suara anak anak ribut di samping kelas atau seseorang sedang belajar di kamar, kemudian ada satu dua orang yang hilir mudik keluar masuk kamar itu dan banyak lagi contoh contoh lain. Faktor faktor sosial yang telah dikemukakan tersebut umumnya bersifat mengganggu situasi proses belajar dan prestasi belajar, sebab mengganggu kosentrasi, hal ini perlu diatur agar belajar berlangsung dengan sebaik baiknya.
3. Faktor faktor fisiologis
Pada faktor faktor ini harus ditinjau, sebab bisa terjadi yang melatar belakangi aktivitas belajar, keadaan tonus jasmani, karena jasmani yang se segar dan kurang segar, lelah, tidak lelah akan mempengaruhi situasi belajr, yang ada hubungannya dengan hal ini terdapat dua hal yaitu :
a. Cukupnya nutrisi karena kekurangan bahan makanan, ini akan mengekibatkan kekurangan tonus jasmani, akibatnya terdapat kelesuan, lekas ngantuk, lelah dan sebagainya.
b. Adanya beberapa penyakit yang kronis umpamanya pilek, influensa sakit gigi, batuk hal lain sangat mengganggu belajar maka perlu mendapatkan perhatian serta pengobatan. (Akhyas Azhari:1996,43).
Disamping itu fungsi jasmani tertentu terutama fungsi fungsi panca inra, sebab panca inra itu merupakan pintu gerbang masuknya pengaruh kedalam diri individu, orang dapat mengenal duni sekitarnya dan semua belajar itu dengan mempergunakan pancaindra.
4. Faktor Psikologi
Faktor ini mempunyai andil besar terhadap proses berlangsungnya belajar seseorang, baik potensi, keadaan maupun kemampuan yang diagmbarkan secara psikologi pada seorang anak selalu menjadi pertimbangan untuk menentukan hasil belajarnya.
Menurut Andend N. Frandsen bahwa hal hal yang dapat mendorong seseorang untuk belajar itu adalah sebagai berikut :
a. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
b. Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan berkeinginan untuk selalu maju.
c. Adanya keinginan untuk mendapat simpati dari orang tua, guru dan teman temannya.
d. Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru baik dengan kooperasi maupun dengan kompetisi.
e. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila telah menguasai pelajaran. (A. N. Frandsen:1996,216).
C. Tipe Tipe Belajar
Dalam duan pendidikan teori teori tentang belajar dan pembelajaran merupakan satu rangkaian yang sangat membantu seorang pendidik untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan pengembangan pembelajaran itu sendiri. Teori belajar secara ideal mencakup secara luas mengenai kenapa perubahan perubahan belajar terjadi namun tidak lengkap dalam hal implikasi praktisnya bagi pendidik. (Nana Sudjana:1991,6).
Dekan memperhatikan aktivitas yang berlangsung dalam belajar serta tahapan tahapan perkembangan anak, Gagne mengelompokkan belajar atas 8 tipe yakni sebagai berikut :
1. Signal Learning (Belajar isyarat tanda)
Tipe belajar ini merupakan tahapan pertemuan adalah proses penguasaan pola pola tingkah laku yang bersifat involuntery (tidak disengaja dan tidak disadari).
Misalnya anak menolak untuk dibawa ke dokter sebagai reaksi atas pengalaman yang kurang menyenangkan. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini adalah perangsang (stimulus) tertentu yang diberikan secara berulang ulang (repetition).
2. Stimulus Response Learning
Tipe belajar ini termasuk classical condition atau belajar dengan trial and error. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor reinpocerment.
3. Chaening (mempertautkan)
Tipe Chaening disebut juga belajar membentuk (chaeing Molore) rangkaian tingkah laku. Proses belajar ini berlangsung dengan menghubungkan gerakan yang satu dengan gerakan yang lain (masuk kekelas, duduk, ambil buku dan seterusnya).
4. Verbal Associateori (Chaeing Verbal)
Tipe ini memberikan reaksi verbal pada stimulus yang datang (misalnya buku, bahasa yang disenangi, book, makan, cat nomor telepon).
5. Discomination Learning (belajar membedakan)
Dalam tahapan ini siswa mengadakan diskriminasi (seleksi dan pemilihan) atas perangsang, serta memilih respon yang sesuai/diantara alat tulis yangh ada dapat menyebabkan mana prioritas pilihan dan mana pula yang tidak.
6. Concept Learning (belajr konsep)
Kemahiran mengadakan diskriminasi akan membantu siswa dalam menemukan persamaan persamaan serta menemukan karakteristik dari stimulus yang ada. Selanjutnya berdasarkan hal ini akan diperolehnya pengertian pengertian tertentu (konsep) misalnya pensil, buku, bul point dll.
7. Rule Learning (belajar membuat generalisasi atau hukum hukum dan disebut juga menghubungkan bebebrapa konsep).
Pada tingkay ini siswa mengadakan kombinasi dari berbagai konsep dengan mengapreiasikan logika (induktif, deduktif, analysis, sintesa komperasi, kausalitas), sehingga siswa dpat menemukan kesimpulan tertentu berupa dalil, aturan, hukum, prinsip dan sebagainya.
8. Problem Solving (pemecahan masalah)
Dengan menggunakan hukum, dalil dan prinsip yang ada, sis merumuskan dan memecahkan masalah masalah. Proses belajar problem solving berlangsung dalam beberapa tahapan yang sistematis.
D. Teori Teori Belajar
Secara garis besar teori belajar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pembagian ini didasarkan atas pandangan belajar dalam mengenal manusia yakni :
1. Pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah organisme yang pasif, yang dikuasai oleh stimulus yang terdapat dalam lingkungan.
Menurut pandangan ini manusia dapat dimanipulasi, tingkah lakunya dapat dikontrol. Caranya adalah dengan mengontrol stimulus stimulus yang ada dalam lingkungannya. Hukum hukum yang berlaku bagi alam pada umumnya berlaku bagi manusia. Pandangan seperti ini dikenal dengan Behavioristik, dengan ciri cirinya :
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
b. Mementingkan bagian bagian
c. Mementingkan peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar
e. Mementingkan sebab sebab diwaktu yang lain
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan
g. Dalam Pemecahan masalah, ciri khasnya trial and error
Teori teori yang termasuk Behacioristik adalah :
a. Konneksionsime (Thorndike)
b. Classical Conditioning (Ivan Pavlov)
c. Systematic Behavior Theory (Hull)
d. Descriptive Behaviorisme (Operant Conditioning) (BF. Skinner).
2. Pandangan kedua menganggap manusia adalah bebas untuk membuat semua kegiatan.
a. Teori Kognitif
Pada hakekatnya manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi, titik paut kekebebasan adalah kesadaran. Tingkah laku manusia adalah ekspresi yang dapat diamati dan akibat dari pada dunia eksistensi internal yang pada hakekatnya bersifat pribadi.
Pandangan ini melahirkan teori kognitif yaitu mempelajari manusia, tingkah laku dan kedaran dirinya.
Ciri ciri teori Kognitif adalah :
1. Mementingkan apa yang ada pada pelajaran
2. Mementingkan keseluruhan
3. Mementingkan peranan fungsi kognitif
4. Mementingkan keseimbangan dalam diri si pelajar
5. Mementingkan kondisi yang ada pada waktu itu
6. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
7. Dalam pemecahan problemanya ciri khasnya intringht
Teori yang termasuk dalam kelompok teori Kognitif adalah :
1. Teori Gestalt (Kohler)
2. Teori Medan (Kurt Lewin)
3. Teori Organistik (Whuler)
4. Teori Sign Gestalt
5. Teori Humanistik (A. Maslow)
Dari hasil percobaan Thorndike, maka kita mengenal 3 hukum pokok yaitu :
1. Hukum Kesiapan (Law of readiness)
2. Hukum Latihan (Law of exercise)
3. Hukum Akibat (Law of effect)
Selain ketiga hukum pokok di atas Thorndike mengemukakan adanya 5 hukum tambahan, yaitu :
1. Law of multiple respnse; individu mencoba berbagai respons sebelum mendapat respons yang tepat (trial and error).
2. Law of attitude; proses belajar dapat berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada siswa.
3. Law of partial activity; individu dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu individu dapat memilih hal hal yang kecil.
4. Lawa of response by analogy; individu cenderung mempunyai reaksi yang sama terhadap situasi baru, atau dengan kata lain individu bereaksi terhadap situasi yang baru sebagaimana dia bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya waktu yang lalu. Jadi respon respon selalu dapat diterangkan dengan apa yang telah dikenalnya.
5. Law of associative; sikap respons yang telah dimiliki individu dapat melekat pada stimulus baru (proses conditioning).
b. Teori Konditioning
Pelopor teori ini adalah Ivan P. Pavlov (Rusia), seorang ahli psikologi. Dalam eksperimennya Pavlov menggunakan seekor anjing yang dioperasikan air ludahnya dan dirancang sedemikian ruap sehingga air ludah yang keluar dapat diukur.
Teori kondisioning menunjukkan bahwa tingkah laku tertentu dapat dibentuk melalui proses condisioning. Anak dapat kita jadikan takut pada kucing, dan sebaliknya dapat pula kita buat menjadi sayang pada tikus.
Menurut kondisioning belajar adalah pembentukan kebiasaan kebiasaan dengan mengasosiasikan stimulus dengan stimulus yang lebih kuat pada waktu yang bersamaan. Dalam kehidupan sehari hari manusia banyak belajar melalui cara condisioning dan re-condisioning.
c. Teori Gestalt
Teori teori belajar yang dibicarakan di atas mendasari percobaannya pada pendekatan stimulus respon dan tidak dapat menjelaskan tentang bentuk belajar yang sifatnya kompleks yang membutuhkan pemecahan masalah.
Teori ini menerangkan pada percobaan proses belajar, yang bersifat kognitif dengan mempertimbangkan persepsi ingatan, berfikir dan sebagainya.
Teori ini dikemukakan oleh Wofang Kohlerr. Percobaan dilakukan pada seekor Simpanse yang diberi nama dengan Sultan. Dalam prakteknya kegiatan yang dilakukan Simpanse dimasukkan ke dalam kandang, di atas kandang digantungkan makanan dan di dalam kandang itulah dicatat beberapa gejala yang dapat dikaitkan dengan dunia pendidikan.
Menurut teori ini belajar bukan hanya pembentukan hubungan stimulus respons, tetapi lebih dari itu, belajar merupakan aktivitas yang kompleks timbul dari berbagai aktivitas yang merupakan jawaban terhadap situasi secara keseluruhan. Insting lebih mudah dicapai bila elemen elemen esensial bagi pemecahan masalah diatur, sehingga mudah dipesepsikan. Sekali masalah dapat dipecahkan, pemecahan ini dapat diulang lagi dengan segera dan diterapkan pada situasi baru yang lain.
BAB III
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK
A. Gejala Pertumbuhan dan Perkembangan
Istilah pertumbuhan dan perkembangan dalam dunia psikologi dan pendidikan selalu mempunyai kaitan yang erat sekali. Istilah ini sering digunakan secara bergantian namun sebenarnya keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Tumbuh memang berbeda dengan berkembang. Sesuatu yang tumbuh adalah sesuatu yang bersifat material dan kuantitatif, sedangkan berkembang adalah suatu yang bersifat fungsional dan kualitatif. (Tadjab:1994,19).
Pada diri seorang anak gejala pertumbuhan dan perkembangan selalu menyatu dalam proses pendidikan atau proses belajar yang dialami anak. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat kemampuan, keinginan serta kejenuhan yang menjadi lingkatan bagi kegiatan belajar dan tentunya akan berpengaruh pada hasil belajar itu sendiri.
- Peristiwa Gelajar Pertumbuhan
Dalam hal ini pertumbuhan pribadi manusia bertolak dari peristiwa awal herditer. Manusia terbentuk dari meterial yang lemah. Materil yang dimaksudkan adalah materil genetis. Pertumbuhan genetis manusia tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan genetis pada hewan, karena keduanya merupakan organisme. Setiap organisme tumbuh dari keadaan sederhana dengan satu sel tunggal menjadi banyak sel dan membentuk organisme yang bersusunan sangat kompleks.
Mencermati gejala pertumbuhan tersebut Dalyono menegaskan bahwa; Pertumbuhan pada masing masing individu dalam segi proses hal umum yang sama, tetapi dalam hal hal yang khusus belum tentu sama. (M. Dalyono:1997,63)
Disadari bahwa gejala pertumbuhan yang mempunyai kaitan erat dengan perkembangan sangat berarti bagi proses belajar yang akan dialami seorang anak. Dalam kajian teoritis maka gejala pertumbuhan yang dicerminkan dengan perkembangan jiwa seorang disestematisasikan pada pengelompokan usia sebagai berikut :
a. Masa Kanak kanak yaitu sejak lahir sampai 05.00
b. Masa Anak yaitu umur 06.00 sampai 12.00
c. Masa Puberitas yaitu masa 13.00 sampai kl. 18.00 bagi anak putri dan sampai umur 22.00 bagi anak putera.
d. Masa Adolesen sebagai masa transisi kemasa dewasa. (Agus Sujanto:1986,1).
Adapun fungsi fungsi kepribadian manusia yang berhubungan dengan aspek jasmaniah dan aspek kejiwaan ini semuanya menyatu sebagai proses perkembangan yakni :
a. Fungsi motorik pada bagian tubuh
b. Fungsi sensoris pada alat alat indra
c. Fungsi neurotik pada sistem saraf
d. Fungsi seksual pada bagian bagian tubuh yang erotis
e. Fungsi pernapasan pada alat pernapasan
f. Fungsi peredaran darah pada jantung dan urat nadi
g. Fungsi pencernaan makanan pada alat pencernaan. (M.Dalyono:1997,79)
Gejala pertumbuhan tentunya telah banyak dikaji sebagai landasan teoritis para ahli untuk menerapkan sistem pendidikan dan pembelajaran bagi seorang anak. Dari beberapa kajian tersebut disimpulkan bahwa hukum yang mengatur pertumbuhan adalah sebagai berikut :
a. Pertumbuhan adalah kualitatif dan kuantitatif
b. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan teratur
c. Tempo pertumbuhan anak adalah tidak sama
d. Taraf perkembangan berbagai aspek pertumbuhan adalah berbeda beda
e. Kecepatan serta pola pertumbuhan dapat dimodifikasi oleh kondisi kondisi di dalam dan di luar badan
f. Masing masing individu tumbuh menurut caranya sendiri yang unik
g. Pertumbuhan adalah kompleks, dan semua aspek aspeknya saling berhubungan. (Ahmad Mudzakir:1997,65).
Gejala pertumbuhan organisme anak manusia jelas menyangkut perubahan materil dan struktur fisiologis, dimana sangat dipengaruhi oleh aspek aspek tertentu yang saling berhubungan . Beberapa aspek yang sangat berperan dalam proses pertumbuhan ini adalah :
a. Anak sebagai keseluruhan
b. Umur mental anak mempengaruhi pertumbuhan
c. Permasalahan tingkah laku sering berhubungan dengan pola pola pertumbuhan
d. Penyesuaian pribadi dan sosial mencerminkan dinamika pertumbuhan. (M. Dalyono:1997,72).
Pandangan yang lebih luas mengenai pertumbuhan dapat diperoleh dengan memperhatikan beberapa generalisasi yang dapat dipergunakan sebagai prinsip prinsip sementara dalam memajukan dan mendorong pertumbuhan pendidikan. (Witherington:1986,145).
Indikator pertumbuhan yang dapat dijadikan satu bagian dari proses kehidupan anak tampak pada tinggi badan yang terdapat pada anak. Gelaja pertumbuhan yang normal tentu harus diiringi oleh keseimbangan masukan gizi yang baik. Adapun untuk menafsirkan tinggi badan anak dapat digunakan rumus (Wasty Soemanto:1989,54), sebagai berikut :
No | Jenis Kelamin | Rumus Tinggi Badan |
1 | Laki laki | Tinggi badan ayah + 110 % tinggi badan ibu 2 |
2 | Perempuan | Tinggi badan ibu + 92 % tinggi badan ayah 2 |
Gambar 2
Rumus Penafsiran Tinggi Badan
- Peristiwa Gejala Perkembangan
Disamping gejala pertumbuhan diri seseorang maka ia juga mengalami gejala perkembangan, dimana gejala ini tidak ditekankan pada segi materil, melainkan pada segi fungsional. Untuk itu perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan kualitatif dari fungsi fungsi.
Sementara itu fungsi fungsi yang berkembang dalam aspek kejiwaan secara kualitatif tampak dalam sifat kejiwaan sebagai berikut ini :
a. Fungsi perhatian
b. Fungsi pengamatan
c. Fungsi tanggapan
d. Fungsi ingatan
e. Fungsi fantasi
f. Fungsi pikiran
g. Fungsi perasaan
h. Fungsi kemauan
Dalam prosesnya perkembangan tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan dimana keduanya saling mempengaruhi dan saling memiliki kekuatan untuk membentuk pola pertumbuhan dan perkembangan. Kematangan fungsi jasmaniah sangat besar pengaruhnya pada perubahan fungsi kejiwaan. Untuk itu hukum hukum perkembangan yang harus diperhatikan disini adalah sebagai berikut :
a. Perkembangan adalah kualitatif
b. Perkembangan sangat dipengaruhi oleh proses dan hasil dari belajar
c. Usia ikut mempengaruhi perkembangan
d. Masing masing individu mempunyai tempo perkembangan yang berbeda beda
e. Dalam keseluruhan periode perkembangan, setiap species perkembangan individu mengikuti pola umum yang sama.
f. Perkembangan dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan.
g. Perkembangan yang lambat dapat dipercepat.
h. Perkembangan meliputi individuasi dan integrasi. (Westy Soemanto:1987,56)
Gejala pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut di atas, menjadi pertimbangan bagi pendidik untuk memberikan pembinaan dan bimbingan agar perkembangan anak menuju arah yang baik dan benar. Untuk ini syarat syarat utama dalam melakukan pembinaan terhadap pertumbuhan dan perkembagan diantaranya adalah :
a. Pembinaan dilakukan dengan tanggung jawab, yakni dilakukan oleh orang tua kemudian dilakukan guru, baru diserahkan pada formal masyarakat yang ada disekelilingnya. Pembinaan harus didasarkan pada sifat dasar anak dengan memahami tata cara pendidikan dan pembinaan.
b. Pembinaan harus dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang memadai, artinya pembinaan harus didukung oleh adanya media agar perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi lebih maksimal dengan bantuan media yang dpat merangsang kegiatan kegiatan anak.
c. Pembinaan harus memiliki ketentuan. Hal ini perlu untuk menata adanya sistematika materi yang akan dipejari, dikuasai dan dimiliki oleh anak.
d. Pembinaan harus menjadi perlindungan terhadap jiwa nak, al ini sekaligus dijadikan dasar untuk nilai tanggungjawab seorang pembina atau pendidik.
e. Pembinaan harus mempu menjadi satu organisasi yang integrated antara pembina, uang dibina, penanggungjawab serta lingkungan pembinaan.
B. Perkembangan Kemampuan Anak
Kemahiran seorang anak diiringi dengan seperangkat vitalitas kehidupan apa itu jasmaniah, rohaniah maupun eksistensi. Jasmaniah artinya seperangkat fisik yang mengalami pertumbuhan, maka harus dipupuk diberi materi agar mampu bertahan hidup, sehat maka pendidikan jasmaniah diawali dari konsep ini. Rohaniah adalah seperangkat fsikhis yang mengalami perkembangan, maka harus dibina dan diberi bimbingan arah kehidupan agar mampu memiliki arti kehidupan. Eksistensi artinya seperangkat nilai yang mengalami perobahan keberadaan, maka harus dikembangkan dan diarahkan agar anak mempunyai satu nilai sosial dalam lingkungannya.
Keluarga modern sadar bahwa anak anak mereka tidak akan menikmati perkembangan akal yang sempurna yang merupakan pemberian Tuhan, kecuali jika mereka mendapatkan pendidikan akal, dan jiwa mereka mendapat kesempatan yang cukup di rumah, keluarga, sekolah dan masyarakat pada umumnya untuk mengembangkan, menumbuhkan, dan menggarap kesediaan kesediaan, bakat bakat, minat, dan kecakapan kecakapan intelektual anak anak tersebut. (Hasan Langgulung:1995,368).
Konsep psikologi tentang perkembangan anak tentunya tidak hanya didasarkan pada eksistensi lingkungan orang tua satu satnya pemeran pembentukan pribadi anak. Dalam hal ini, menurut pada ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas rana kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendayagunakan kapasitan motor dan sensoriknya, hanya, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas rana kognitif tersebut masih belum jelas benar. (Muhibbin Syah:1995,65).
Jean Peaget seorang pakar terkemuka menurut penulis dianggap representatif untuk mengklasifikasi urutan perkembangan kognitif anak ini yakni sebagai berikut :
1. Fase Sensori Motor (umur 0 – 2 tahun)
Pada fase ini pengalaman kognitif anak didasarkan pada perlakuan panca indra anak. Perkembangan kognitif akan tampak bila anak memiliki banyak pengalaman interaksi dengan lingkungan khusunya bersifat material/fisik.
Beberapa tahapan kemampuan yang dapat dideteksi adalah sebagai berikut : a. kemampuan mengenali, b. kemampuan mengingat. Dalam fasi ini disarankan pada orang tua untuk lebih banyak memberi pengalaman tambahan pada anak, kemudian pengulangan pengalaman dengan mengingatkan anak.
2. Fase Intuitif – Pra Operasional (2 – 7 tahun).
Pada fase ini pengalaman kognitif anak didasarkan pada pengkayaan pengalaman baik interaksi dengan lingkungan maupun pengulangan ingatan.
Beberapa kecakapan baru yang penting adalah kemajuan yang sungguh pesat dalam pengumpulan kosa kata. Anak umur 2 tahun memiliki 200 kosa kata, untuk umur lima tahun 2000 kata begitu seterusnya.
Dalam fase ini disarankan agar orang tua untuk lebih banyak berinteraksi dengan bahasa dan kata kata yang semakin kaya, bersecita, bernyanyi dan lain sebagainya. Pada bagian yang sama anak disamping memiliki kemampuan meniru juga telah mampu mendayagunakan imajinasinya. Latihan berekspresi keindahan baik pada dunia seni maupun apresiasi kehidupan sudah saatnya diberi kesempatan.
3. Fase Operasi – Kongkrit (umur 7 – 11 tahun)
Pada fase ini pengalaman kognitif anak berangsur beralih dari dunia fantastif ke dunia nyata, maka logis tidaknya satu keadaan telah menjadi pertimbangan tindakannya.
Pada saat inilah maka kita disarankan untuk membimbingan kreatifitas, mengembangakan keterampilan dan mendorong keberanian yang positif pada anak.
4. Fase Operasi Formal (umur 11 – 16 tahun)
Dalam fase terakhir ini pengalaman kognitif anak telah kaya dengan pengalaman baik itu yang bersifat kongkrit maupun abstrak. Berfikir secara rasional semakin kentara dengan memberanikan diri memilah mana yang logis mana yang imajinatif dan abstrak.
Perkembangan fase ini bukan hanya dibimbing dan dikembangan, tetapi harus lebih banyak mendapat perhatian tentang kendali tindakan anak, karena fase ini lebih banyak mendapat perhatian tentang kendali tindakan anak. Karena fase ini beriringan dengan fase pubertas pada dimensi emosional anak.
Pada perbendaharaan psikologi Piaget ini keterampilan keterampilan kognitif anak banyak dideteksi sebagai satu kemampuan yang orisinil dari anak itu sendiri. Beberapa kemapuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sencory-motor schema (skeme sensori motor) ialah sebuah atau rangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan seperti orang, barang, keadaan atau kejadian.
2. Cognitive-schema (skema kognitif) ialah perilaku tertutup berupa tatan langkah langkah kognitif (perasitons) yang berfungsi memahami apa yang tersirat atau menyimpul lingkungan yang direspons.
3. Object-permanance (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa setiap benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi.
4. Assimilation (asimilasi) yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketetapan akomodasi.
5. Accomodation (akomodasi), yakni keseimbangan antar skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketetapan akomodasi
6. Eguilibrium (ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil kecepatan akomodasi. (Muhibbin Syah:1995,67).
Menjadikan anak cerdas terampil dan bersopan santun memang merupakan tugas besar baik bagi pendidik, orang tua, guru dan masyarakat. Cita ideal kemampuan anak yang dilihat dari sudut perkembangan ini tentulah seiring dengan tujuan pendidikan nasional, maka setidaknya ada dua pernyataan yang harus dijawab, apa dan bagaimana jalan yang harus dilakukan.
Pertama, adalah dengan pengenalan makna cerdas, terampil dan moralitas bagi lingkungan kehidupan anak, yang menurut kurikulum harus selalu dititipkan pada tiap jenjang, tiap jenis dan bahkan tiap institusi pendidikan.
Kedua, adalah dengan memberikan penyalaman yakni; a. pengasahan otak agar dapat berfikir kritis dan obyektif, b. pelatihan fisik agar dapat terampil dan cekatan dalam bertindak serta, c. penghayatan hati agar dapat menyadari arti dan keberadaan dirinya ditengan tengah kehidupan.
Pendekatan psikologi modren tentu tidak memihak pada satu dari dua jalan di atas, dimana mengupayakan satu konsepsi dengan pendayagunaan potensi anak bukan hanya disadarkan pada aspek kemampuan yang ibheren pada anak. Akan tetapi juga kemampuan pengelolaan yang kuat untuk membimbing dan membina potensi tadi.
Adalah justru psikologi kognitif lebih mengarahkan pada adanya keterpaduan yang mampu memberikan jembatan antara perkembangan kogitif dengan usaha yang dilakukan lewat penciptaan lingkungan yang telah dan terpadu. Artinya penciptaan lingkungan yang dapat menyuburkan perkembangan kognitif anak harus dimulai dari lingkungan, orang tua kemudian guru. Orang tua lebih memberikan kesempatan kreatifitas anak, dan guru memberikan bimbingan kemajuan fikiran anak sekaligus orang tua dan guru memberikan pengendalian kognitif anak.
C. Faktor Hereditas dan Prinsip Prinsipnya
Faktor hereditas dalam hal ini adalah sifat sifat atau ciri yang diperoleh pada seorang anak atas dasar keturunan atau pewarisan dari generasi kegenerasi melalui sel benih. Sifat sifat ciri pembawaan tersebut ada dari pembawaan sejak lahir, dan masih merupakan benih, yang masih merupakan kekuatan/potensi terpendam dalam diri seseorang. Potensi baru akan aktual dan tumbuh serta berkembangan setelah mendapatkan rangsangan rangsangan dan pengaruh dari luar/faktor eksten.
Dalam kedudukannya pada proses pendidikan, hereditas dapat diartikan sebagai pewarisan atau pemindahan biologis karakteristik individu dari pihak orang tuanya. Pewarisan ini terjadi melalui proses genetis. (Westy Soemanto:1987,78). Itulah sebabnya maka dalam dunia pendidikan juga dibutuhkan ilmu ilmu biologi yang memang mempunyai kaitan erat dengan psikologi pertumbuhan anak.
Pembahasan tentang hereditas sebagai sebuah gejala yang dialami oleh seorang anak tentu akan mengarah pada proses berlangsungnya hereditas tersebut, kemudian prinsip prinsip apa yang akan muncul dari keberlangsungan hereditas. Berikut akan dijabarkan satu persatu.
1. Proses Hereditas
Hereditas pada seorang anak adalah berupa warisan “specific genes” yang berasal dari kedua orang tuanya “Genes” ini terhimpun di dalam kromosom kromosom atau “colored bodies”. Kromosom kromosom, baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu berinteraksi membentuk pasangan pasangan. Dua anggota dari masing masing pasangan memiliki bentuk dan fungsi yang sma.
Dalam pada itu masing masing individu mulai hidup dengan satu sel di dalam indung telur yang telah dibuahi oleh satu sperma. Sel ini berbagi menjadi dua, masing masing berbagi lagi menjadi dua, sekali lagi menjadi dua dan seterusnya sehingga membentuk organ. Proses pembagian sel ini disebut dengan “mitosis”. Menurut para ahli disebutkan bahwa; semua sel dalam badan memiliki hereditas identik sebagai akibat dari adanya proses individuasi dan diferensiasi. (Wasty Soemanto:1987,79). Namun yang pasti setiap sel terdeferensiasi sebagian menjadi sel mata, sebagian menjadi sel telinga dan seterusnya.
Kelangsungan proses di atas terjadi apabila dua individu berlainan jenis kelamin melakukan perkawinan terjadilah proses genetis seperti tadi kesemuanya dalam rangka emmbentuk individu baru.
Dalam hal ini Janathan L. Freeman memberi penegasan :
Along the length of each chromosome are a number of areas called genes. The structure of the DNA in a pair of genes (one on each chromosome) determines the exact chemical nature of paraticular proteins within the cell. Since these proteins, called enzymes, control the function of the cell, ultimately it is the genes that determine how the cell functions. (jonathan L. Freeman:1978,243).
Kutipan diatas menjelaskan bahwa telah ditemukan adanya ketentuan ketentuan yang alami berlaku untuk proses genetika dari orang tua kepada anak. Sehingga rumus DNA menjadi populer sebagai panduan untuk melihat hal ini, apa dan bagaimana dasar dasar biologi yang dapat memberikan konstribusi terhadap anak sebagai keturunan.
Untuk catatan dalam hal ini bahwa dalam pendekatan biologis terdapat satu aturan sistem yang memberikan pedoman bagi psikologi pendidikan dimana anak dalam kelahiran danpertumbuhan telah diawali dari adanya garis keturunan yang tidak terpisah dengan orang tuanya. Untuk itu nativisme yang menjadi aliran dalam hal ini sangat penting sebagai bagian kajian yang harus ditelusuri lebih jauh.
2. Prinsip Prinsip Hereditas
Prinsip dalam hal ini adalah aturan yang memang menjadi hukum atau bagian teori yang menjadi pedoman bagi ilmuan atau pengguna untuk menjadikan hereditas sebagai landasan pendidikan.
Dari beberapa penelitian tentang prinsip hereditas menurut catatan (Tadjab:1994,29) bahwa diketemukan beberapa hal yang utama yakni :
1. Prinsip reproduksi; artinya menghasilkan atau membuat kembali. Dalam hal ini proses penurunan sifat atau ciri hereditas tersebut melalui sel benih, kemudian cirinya dalam bentuk nyata, maka nak harus mengulang kembali dari awal pertumbuhan dan perkembangan serta pengalaman yang telah dialami oleh generasai pendahulunya.
2. Prinsip konformitas; yakni setiap jenis makhluk menurunkan jenisnya sendir dalam hal ini tidak akan melahirkan atau menurunkan sifat sifat atau ciri ciri makhlik lain yang bukan ciri/sifatnya. Prinsip ini termasuk aliran yang menolak bahwa manusia adalah keturunan dari makhluk jenis lain.
3. Prinsip variasi; artinya setiap individu disamping mewarisi sifat atau ciri umum yang sama, juga mewarisi sifat atau ciri yang berbeda beda. Anak yang berasal dari orang tua yang sama, bahkan anak kembar sekalipun mempunyai sifat atau ciri yang berbeda. Adalah tidak benar bila dua orang manusia mempunyai sifat dan ciri yang persisi sama di muka bumi ini.
4. Prinsip regresi filial; adalah sifat atau ciri yang diturunkan dari generasi kegenerasi akan cenderung menuju kearah rata rata. Prinsip ini memberikan pengertian bahwa anak dari orang tua yang sangat cerdas menunjukkan kecenderungan untuk menjadi kurang cerdas daripada orang tuanya. Sebaliknya anak dari orang tua yang lemah akan cenderung menjadi lebih pintar
BAB IV
KEMAMPUAN DAN INTELIGENSI
A. Kemampuan Dasar Manusia
Setiap individu adalah hasil dari dua keturunan atau dua faktor utama yakni; hereditas dan lingkungan. Kedua faktor inilah yang sangat berarti mempenyaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Agar individu dapat dipelajari secara utuh, hal ini harus dilihat dari banyak faktor utama yakni :
1. Hereditas bekerja ddengan melalui sel sel benih. Prinsip prinsip reproduksi ini berarti, bahwa ciri ciri atau karakteristik karakteristik yang dipelajari oleh orang tua tidak diteruskan kepada anaknya.
2. Setiap jenis menghasilkan jenisnya sendiri. Prinsip konformitas ini berarti, bahwa setiap anggota jenis atau holongan (species) mengikuti suatu pola umum.
3. Sel benih (germ-cell) mengandung banyak diterminant yang berkomunikasi dengan cara cara yang beraneka warna untuk menghasilkan perbedaan perbedaan individual. Prinsip variasi ini berarti, bahwa anak anak mungkin menyerupai dan mungkin pula tidak menyerupai orang tua mereka mengenai suatu sifat tertentu.
4. Anak ataupun keturunan cenderung untuk menuju keratarataan (avarage) mengenai suatu sifat tertentu. Prinsip regresi filial ini turut pula menerangkan adanya variasi variasi dari orang tua.
Dengan aturan aturan prinsip di atas, maka seorang anak sekolah mempunyai latar belakang yang sangat kentara perbedaan antara satu anak dengan anak lainnya, khususnya bila dilihat dari faktor hereditas yang sangat kompleks. Variasi dari hereditas tersebut menjadi medan kajian dari psikologi pendidikan untuk dapat mengembangkan dan memanfaatkannya pada proses pendidikan dan pengajaran.
Pada konsep lainnya diketahui bahwa pendidikan dan pengajaran adalah upaya membina prilaku anak dengan cara interaksi antara individu dengan lingkungannya. Beberapa faktor yang turut mempengaruhi interaksi ini adalah sebagai berikut :
- Kesiapan (readines) yaitu kapasiti baik fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu.
- Motivasi yaitu dorongan dari dalam diri sendiri untuk melakukan sesuatu.
- Tujuan yang ingin dicapai
Perbedaan tingkahlaku penting pada proses interaksi tersebut semakin lama semakin kompleks sesuai dengan keadaan yang dihadapi maupun yang dialami oleh anak itu sendiri. Berikut dijabarkan tujuh bagian utama tingkah laku penting yang harus diketahui untuk kepentingan proses belajar mengajar sebagai berikut :
- Motivasi
Adalah keadaan keadaan dalam diri individu yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.
- Perhatian
Adalah pemusatan tenaga psikis tertuju kepada suatu obyek serta menampakkan adanya banyak atau sedikit kesadaran yang menyertai aktivitas yang dilakukan.
- Ingatan
Adalah suatu daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan mereproduksikan kembali pengertian pengertian atau tanggapan tanggapan kita.
- Fantasi
Ialah suatu daya jiwa untuk menciptakan sesuatu yang baru, dengan fantasi manusia dapat membentuk suatu yang sebelumnya belum ada sehingag sesuatu yang baru itu merupakan suatu kreasi, meski dengan jalan bagaimanapun juga.
- Berfikir
Ialah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan hubungan antara ketahuan ketahuan yang ada selama ini. Dengan berfikir manusi dapat melakukan proses dialektis artinya selama manusia berfikiran maka kita akan mengadakan tanya jawab dengan fikitan kita dan akhirnya ingin menemukan kesimpulan.
- Perasaan
Ialah suatu pernyataan jiwa yang sedikit banyak bersifat subyektif, untuk merasakan senang atau tidak senang, dan yang tidak tergantung kepada perangsang dan alat alat indra.
- Bakat
Ialah kemampuan khusus yang menonjol di antara berbagai jenis yang dimiliki seseorang, biasanya berbentuk keterampilan atau sesuatu bidang ilmu.
Tentu banyak lagi kemampuan kemampuan lain yang sangat besar artinya bagi proses pembelajaran. Namun demikian fungsi fungsi penting dari kemampuan di atas diharapkan dapat menjadi bekal bagi pendidik untuk menemukan krangka pengajaran yang benar dan tepat dalam menghadapu dan melayani peserta didiknya.
B. Kognitif, Objektif dan Psikomotor
Tujuan pendidikan atau tujuan instruksional telah lama dirumuskan oleh para ahli rancangan pembelajaran . Dalam perkembangannya mereka banyak memperoleh keberhasilan keberhasilan baik dalam bidang item yang akan diukur serta metode pengukuran itu sendiri. Binyamin S. Bloom bersama rekan rekannya adalah dianggap orang pertama yang mempelopori penemuan klasifikasi tujuan instruksional (educational objecitves). Pada tahun 1956 terbitlah karya “Taxonomy of Eduational Objectives Cognitives, Affective Domain”. Kelompok ini pada akhirnya tidak berhasil menyusun rana psikomotor yang kemudian dilakukan oleh E. Simpson pada tahun 1967 dan A. Harrrow pada tahun 1972. (W.S. Winkel:1987,149).
Berikut ini akan dijabarkan ketiga rana tersebut sebagai pembahasan utama, namun harus didasari ketiga itu tetapi memiliki keterkaitan dan kesatuan yang utuh sebagain pengkalasifikasian tujuan instruksional.
- Rana Kognitif
Rana ini bertujuan pada orientasi kemampuan “berfikir” mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu “mengingat” sampai pada satu kemampuan untuk memecahkan masalah. Pengertian kognitif dalam hal ini dibatasi sebagai satu hal yang memiliki delapan lapangan seperti kutipan berikut :
Modern cognitive psychoogy freely draws theories and techiques from eight principal areas of resarch perception, arrention, memory, imagery, language, functions, developmental psychology, thingking anda problem solving, and artificial intelegence. (Robert L. Solso:1979,4).
Sementara itu pembagian ranah kognitif dalam hal ini oleh Binyamin S. Bloom sendiri dipecah menjadi enam bagian utama seperti kutipan dari buku aslinya sebagai berikut :
a. Knowladge d. Analysis
b. Comprehension e. Synthesis
c. Application f. Evaluation (Binyamin S. Bloom:1956,18)
Dalam pemetaan kognitif, pembagian ranah penting untuk kepentingan pengukuran instruksional. Adrtinya seorang perancang pengajaran akan memanfaatkan kata kerja operasional sebagai acuan mengevaluasi proses pembelajaran. Berikut ini akan digambarkan pemetaan kata kerja operasioanl tersebut :
No | Tingkatan Rana | Kata Kerja Operasinal |
01 | Pengetahuan/pengenalan | Mengidentifikasi Memilih Menyebutkan nama Membuan daftar |
02 | Pemahaman | Membedakan Menjelaskan Menyimpulkan Memperkirakan |
03 | Penerapan | Menghitung Mengembangkan Menggunakan Memodifikasi |
04 | Analisis | Membuat diagram Membedakan Menghubungkan Menjabarkan |
05 | Sintesis | Menciptakan Mendisain Memformulasikan Membuat prediksi |
06 | Evaluasi | Membuat kritik Membuat penilaian Membandingkan Membuat evaluasi |
Gambar 3
Pemetaan Rana Kognitif
- Rana Afektif
Taksonomi ini lebih dikenal pada rana yang berorientasi pada rasa atau kesadaran. Banyak dikalangan para ahli menginterpretaikan rana afektif menjadi sikap, nilai sikap yang diartikan tentu akan berpengaruh terhadap penyusunan tujuan instruksional yang akan ditetapkan dalam tujuan pembelajaran.
Adapun ciri dari organisasi rana afektif ini adalah lebih mngorientasikan pada nilai nilai, norma norma untuk diinternalisaikan dalam sistem kerja pribadi seseorang. Dalam pemetaannya afektif untuk kepentingan tujuan instruksional, maka kata kerja operasional yang disusun dapat dilihat pada gambar berikut :
No | Tingkatan Rana | Kata Kerja Operasinal |
01 | Pengenalan/Penerimaan | Mendengarkan Menghadiri Melihat Memperhatikan |
02 | Pemberian respon | Mengikuti Mendiskusikan Berlatih Berpartisipasi Memenuhi |
03 | Penghargaan terhadap nilai | Memilih Menyakinkan Bertindak Mengemukakan argumen |
04 | Pengorganisasian | Memilih Memutuskan Memformulasikan Membandingkan Membuat sistematis |
05 | Pengalaman | Menunjukkan sikap Menolak Mendemonstrasikan Menghindari |
Gambar 4
Pemetaan Rana Afektif
- Rana Psikomotor
Yang termasuk dalam rana psikomotor ini adalah kemampuan yang menyangkut kegiatan otot dan kegiatan fisik. Jadi tekanan kemampuan yang menyangkut penggunaan anggota tubuh dan gerak. Penguasaan kemampuan ini meliputi gerakan anggota tubuh yang memerlukan koordinasi syarat otot yang sederhana dan bersifat kasar menuju gerakan yang menurut koordinasi syarat otot yang lebih kompleks dan bersifat lancar.
Dalam kepentingan pendidikan maka penyusunan rana ini dijabarkan dalam kategori kata kerja yang lebih kompleks artinya kata kata yang dapat dipergunakan untuk tujuan instruksional seperti tampak pada gambar berikut :
No | Tingkatan Rana | Kata Kerja Operasinal |
01 | Meniru | Mengulangi Mengikuti Memegang Menggambar Mengucapkan |
02 | Manu\ipulasi | Kerjasama Kemampuan meniru |
03 | Ketetapan gerakan | Dengan tepat Dengan lancar Tanpa kesalahan |
04 | Artiklasi | Selaras Terkoordinasi Stabil Lancar |
05 | Naturaliasi | Dengan otomatis Dengan sempurna Dengan lancar |
Gambar 5
Pemetaan Rana Psikomotorik
C. Inteligensi
Inteligensi terkait erat dengan tingkat kemampuan seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik itu kemampuan secara fisik maupun non fisik. Banyak hal yang telah diteliti orang tentang kemampuan ini, sehingga melahirkan rumus tetang bagaimana mengukur tingkat inteligensi seseorang. Uraian tentang inteligensi akan dijabarkan dalam dua pokok bahasan yakni; pengertian intelegensi dan tingkahlaku inteligensi.
1. Arti Inteligensi
Banyak defenisi yang dikemukakan para ahli tentang inteligensi, kadangkala pengertian pengertian yang mereka bangun berdasarkan hasil penelitian atau pendekatan yang dilakukan. Menurut William Stern inteligensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru dengan menggunakan alat alat berfikir yang sesuai dengan tujuan. (Agus Sujanto;1986,66).
Sementara itu penelitian yang berkenaan dengan inteligensi dilakukan oleh para ahli selalu dikaitkan dengan masalah masalah konsep tentang berbagai hal yang menyangkut perilaku kemampuan berfikir seseorang. Banyaknya lahir konsep tentang inteligensi ini digolongkan menjadi lima golongan yakni :
a. Konsepsi konsepsi yang bersifat spekulatif
b. Konsepsi konsepsi yang bersifat pragmatis
c. Konsepsi konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor yang kiranya dapat kita sebut konsepsi konsepsi faktor
d. Konsepsi konsepsi yang bersifat operasional, dan
e. Konsepsi konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional, yang kiranya dapat kita sebut konsepsi fungsional. (Sumadi Suyabrata:1989,128)
Dalam pada itu konsepsi tentang inteligensi ini berkembang terus sehingga banyak mendapat dan dalili dalil yang menjadi temuan dan pedoman bagi para ahli untuk mengembangkannya lebih jauh.
Sebagai pembahasan perbincangan tentang inteligensi harus didasarkan pada empat hal pokok yakni :
a. Bahwa inteligensi itu ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat, dan sebagainya untuk mempengaruhi inteligensi seseorang).
b. Bahwa manusia hanya dapat mengetahui inteligensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak. Inteligensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung, melalui “kelakuan inteligensinya”.
c. Bahwa bagi suatu perbuatan inteligensi bukan hanya kemampuan yang dibawa lahir saja yang penting. Faktor faktor lingkungan dan pendidikanpun memegang peranan.
d. Bahwa manusia dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu/ (M.Ngalim Purwanto:1987,53).
Perkembangan dan pertumbuhan inteligensi dalam diri seseorang berirama sesuai dengan gejala pertumbuhan dan perkembangan yang ia alami. Namun demikian terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi inteligensi ini yakni :
a. Perbawaan, ialah gejala kesanggupan kita yang telah kita bawa sejak lahir, dan yang tidak sama pada setiap orang.
b. Kemasakan, ialah saat munculnya sesuatu daya jiwa kita yang kemudian berkembangan dan mencapai saat puncaknya.
c. Pembentukan, ialah segala faktor luar yang mempengaruhi inteligensi dimasa perkembangannya dan
d. Minat, inilah yang merupakan motor penggerak dari inteligensi kita. (Agus Sujanto:1985,66).
Tentunya pengertian dan pembatasan inteligensi tidak berhenti sampai disini, para ahli terus berusaha menyempurnakan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman dan perobahan yang ada pada struktur aturan kegiatan keilmuan itu sendiri.
2. Tingkah laku Inteligensi
Dalam hal ini yang dimaksud dengan tingkah laku inteligensi adalah pernyataan dan aktivitas manusia yang dengannya dapat diketahui, diukur dan ditentukan apa dan bagaimana keadaan inteligensi.
Inteligensi sebagai suatu aktivitas oleh G.D.Stonddard dinyatakan adalah kegiatan untuk memecahkan problem yang demikian nyata, dengan ciri ciri sebagai berikut :
a. Problem itu harus tergolong sulit.
b. Problem itu mengandung kerumitan atau kompleks.
c. Problem itu memerlukan daya mengabstraksi.
d. Tingkahlaku untuk melaksanakan pemecahan problem itu harus cepat.
e. Tingkahlaku dalam melaksanakan pemecahan problem sadar tertuju kepada tujuan tertentu.
f. Problem itu memiliki nilai sosial
g. Cara yang digunakan dalam pemecahan problem itu orisional atau asli, yaitu penemuan sendiri.
Salah satu penegasan tentang inteligensi ada yang menyebutkan bahwa; inteligensi sebagai kemauan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. (Ahmad Mudzakir:1997,133). Untuk itu seseorang ketika menghadapi suatu masalah, dan dengan dasar tersebutlah maka para ahli menggolongkan aktivitas aktivitas dari inteligensi tersebut.
Dalam usaha membedakan bentuk tingkahlaku atau aktivitas memang kadang sukar dilakukan. Namun demikian menurut Ahmad Thonthowi dapat dibedakan dalam dua kelompok, yakni :
a. Aktivitas pada tingkat inteligensi yang rendah. Adalah aktivitas yang dapat meliputi seluruh aktivitas manusia dan hewan, aktivitas itu bersifat nyata atau kongkrit.
b. Aktivitas pada tingkat inteligensi yang tinggi. Adalah aktivitas yang timbul pada situasi yang mengandung proses proses konseptual dan fantasi kontruktir. Dalam hal ini sifatnya tidak langsung dan abstrak serta diperlukan ide ide dan pengertian pengertian dengan mempergunakan bermacam macam simbolisme. (Ahmad Thonthowi:1993,83).
Sampai disini jelas bahwa inteligensi pada konsepnya adalah abstrak, namun dapat dilihat dan dipahami ketika tingkahlaku manusia menunjukkan adanya usaha atau aktivitas seperti memecahkan masalah yang masalah tersebut memiliki karakteristik tersendiri.
D. Perkembangan dan Pengukuran Inteligensi
Kemampuan yang dapat diperoleh dari inteligensi ini adalah dapat diketahui dengan cara menggunakan tes inteligensi. Tes ini dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai satu paket alat ukur terpadu untuk melihat tingkat kemampuan yang ada pada diri seorang individu.
Sejak awal disadari bahwa tes untuk mengukur kemampuan inteligensi seseorang adalah tidak ada yang sempurna sama sekali. Dalam hal ini diketahui bahwa ebilitas mental yang sangat kompleks menjadikan pengukuran hanya sebatas disusun, dibentuk dan dilengkapi. Untuk itulah maka ditegaskan sekali lagi bahwa; macam macam test ebilitas mental. Tes inteligensi dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Individual atau kelompok
2. Bahasa atau verbal, bukan bahasa atau non verbal atau perbuatan
3. Mudah atau lebih sukar, disesuaikan dengan umur atau tingkat tingkat sekolah. (Lester D.Crow:1984,228).
Beberapa ahli yang telah merancang dan mengembangkan tes ukur inteligensi ini sampai kini sebagian darinya tetap digunakan oleh pada pendidik, namun sebagian ditinggalkan. Beberapa model tes yang pernah dikembangkan tersebut adalah :
1. Tes Wechsler
Tes inteligensi ini adalah dibuat oleh Wachsler Bellevue pada tahun 1939 terdiri dari dua macam yakni; untuk umur 16 tahun keatas disebut dengan Adult Inteligence Scale (WAIS) dan tes untuk anak anak yaitu Wechslr Intelegence Scale for Children (WISC).
Tes yang dikembangkan ini meliputi dua sub yaitu verbal dan performance (tes lisan dan perbuatan atau keterampilan). Tes lisan meliputi pengetahuan umum, pemahaman, ingatan, menari kesamaan, hitungan dan bahasa. Sedangkan tes keterampilan kegiatan seperti;menyusun gambar, melengkapi gambar, menyusun balok balok kecil, menyusun bentuk gambar dan sandi (kode angka angka).
2. Tes Progressive Matrices
Tes inteligensi ini diciptakan oleh L.S. Penrose dan J. C. Lave dari Inggris pada tahun 1938. dimana dengan tes ini dapat diberikan secara kelompok orang sekaligus untuk diukur atau diketahui tingkai inteligensinya.
3. Tes Army Alpha dan Beta
Tes inteligensi yang ini digunakan untuk mentes calon calon tentara di Amerika Serikat. Dimana tes army alpha khusus untuk calon tentara yang pandai membaca sedang army beta untuk calon yang tidak pandai membaca. Tes ini diciptakan awalnya untuk memenuhi keperluan yang mendesak dengan menseleksi calon tentara waktu perang dunia II.
4. Tes Binet-Simon
Tes inteligensi ini adalah tes psikologi yang pertama sekali diciptakan oleh Alfred Binet dan Theodore Simon pada tahun 1908 di Perancis. Awalnya tes ini dipersiapkan untuk mengukur tingkat kemampuan inteligensi anak anak, namun dalam perkembangannya mendapat sambutan yang baik, sehimngga disempurnakan menjadi lebih lengkap kemudian dapat digunakan untuk orang dewasa.
Beberapa ahli yang sempat merevisi dan menyempurnakan tes Binet-Simon ini adalah :
- Kuhman tahun 1912 dan 1922
- Lewis Terman dan Stanfor University tahun 1916
- Mordan tahun 1932
- David Merril tahun 1937. (Ahmad Mudzakir:1997,140).
Dalam pada itu suatu konsepsi yang orisinal, yang kemudian ternyata sangat berguna dan sangat baik diikuri orang lain ialah konsepsi tetang adanya umur yang dua macam yaitu :
a. Umur kalender atau umur kronologis (Cronological age yang biasa disingkat dengan CA), dan
b. Umur kecerdasan atau umur inteligensi (mental age, yang biasa disingkat dengan MA). (Sumadi Suryabrata:1989,154).
Dalam proses pengukuran tingkat kemampuan atau inteligensi seseorang maka dari beberapa tes yang pernah disusun dan dikembangkan samapai kini terus berlanjut sebagai cara orang untuk mengetahui tingkat kemampuan seseorang. Dalam al ini tes Binet-Simon membutuhkan dua nilai utama yakni; tingkat kalender usia disebut dengan CA dan usia kemampuan disebut MA.
Adapun rumus untuk menentukan beberapa tingkat IQ (Intelegensi Question) seseorang digunakan dengan rumus :
| | | |
| MA | x 100 = IQ | |
CA | |||
| | | |
Sebagai contoh berikut dikemukakan tes IQ pada seorang anak usia 7 tahun 6 bulan, kemudian ianya dites pertama sekali dengan tes untuk anak usia lima tahun, kemudia tes untuk anak enam tahun dan seterusnya sampai kepada usia tertinggi sehingga ia tidak mengetahui seluruh jawaban dari tes usia tersebut dalam hal ini tes untuk sebelas tahun.
Usia | Tugas Tugas | | Hasil | |||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | | ||
5 tahun | X | X | X | X | X | X | | - |
6 tahun | X | X | X | X | X | X | | 6 |
7 tahun | X | X | X | X | - | X | | 5/6 |
8 tahun | X | X | X | X | - | - | | 4/6 |
9 tahun | X | X | - | - | - | - | | 2/6 |
10 tahun | X | - | - | - | - | - | | 1/6 |
11 tahun | - | - | - | - | - | - | | - |
| | | | | | | | 6,12/6 |
Gambar 6
Tabulasi Penghitungan TES IQ
Yang terjadi adalah bahwa tes untuk usia lima dan enam tahun anak yang dites dapat menjawab enam item, kemudia pada tes usia tujuh tahun anak hanya dapat lima item saja, sampai pada tes usia sebelas tahun anak tidak menjawab satu tespun. Penghitungan yang dilakukan adalah dengan rumus seperti terlihat pada samping kanan gambar.
Langkah berikutnya adalah mengadaptasi hasil di atas dengan rumus tes Binet-Simon yang baku sebagai berikut :
IQ | = | MA | x | 100 |
| |
CA |
| |||||
| | | | |
| |
| = | MA = 6,12/6 = 8 | ||||
| = | CA = 7,6/12 = 7,5 | ||||
| = | 8 | x 100 | |||
| | 7,5 | ||||
| = | 106,9 | ||||
Setelah diperoleh nilai angka sebesar 106,9 maka diadaptasi dengan tingkatan tingkatan angka yang dapat diinterpretasikan untuk melihat IQ seseorang pada tabel berikut :
IQ | Klasifikasi | Prosentasi dari Populasi |
Di atas 140 | Genius | 1,5 |
10-139 | | 3,0 |
120-129 | Veri Superior | 7,0 |
110-119 | Superior | 14,5 |
100-109 | | 25,5 |
90-99 | Average | 25,5 |
80-89 | Dull Average | 14,5 |
70-79 | Borderline | 7,0 |
60-69 | | 3,0 |
Di bawah 60 | Mental Difidcient | 0,0 |
T o t a l | 100 % |
Gambar 7
Bagan Interpretasi Angka pada IQ
Sampai disini dapat diketahui bahwa IQ seorang anak yang dites maka hasilnya adalah IQ = 106,9 atau tingkat kemampuannya Average atau dalam hal ini rata rata atas.
BAB V
MASALAH KESULITAN BELAJAR
A. Siswa dan Kesulitan Belajar
Belajar adalah proses dimana seorang peserta didik mengalami perubahan dari satu kondisi kepada kondisi lain, kondisi yang lain tersebut tentu direncanakan, dikontrol dan dikendalikan. Usaha pencapaian agar peserta didik sampai pada kondisi yang diinginkan tentu menempuh berbagai cara, melewati berbagai kondisi dan mengikuti beberapa prinsip yang menjadi atauran dalam belajar. Namun harus disadari bahwa ditengah tengah antara kondisi awal sampai kondisi tujuan terdapat beebrapa hal yang menjadi rintangan baik datang dari siswa maupun dari luar diri siswa.
Rintangan atau hambatan yang dialami siswa tersebut dalam psikologi pendidikan disebut dengan hambatan atau kesulitan belajar. Kesulitan belajar dapat diterjemahkan dari fenomena dimana siswa mengalai kesulitan ketika yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf keualifikasi hasil belajar tertentu berdasarkan ukuran kreteria keberhasilan seperti yang dinyatakan dalam Tujuan Instruksional atau tingkat perkembangannya. (Abi Syamsuddin M:1998,107).
Banyaknya variabel dari kesulitan belajar ini selalu diidentikkan dengan faktor faktor yang menjadi pendukung kegiatan belajar. Sehingga banyak diketahui oleh orang bahwa semakin banyak belajar semakin banyak kesulitan yang dihadapi. Untuk kepentingan diagnosis (penyelesaian) maka kesulitan dikelompokkan yakni;
1. Dilihat dari jenis kesulitan belajar :
a. ada yang berat
b. ada yang sedang
2. Dilihat dai bidang studi yang dipelajari :
a. ada yang sebagian bidang studi dan
b. ada yang keseluruhan bidang studi
3. dilihat dari sifat kesulitannya :
a. ada yang sifatnya hanya permanen/menetap dan
b. ada yang difatnya hanya sementara
4. Dilihat dari segi faktor penyebabnya :
a. ada yang karena faktor inteligensi, dan
b. ada yang karena faktor non inteligensi. (Abu Ahmadi dan Widodo S:1991,75).
Kenyataan yang selalu dialami oleh siswa bahwa apabila mengalami kesulitan belajar maka berpengaruh pada rendahnya semangat belajar, lemahnya motivasi, hilangnya gairah belajar dan akhirnya turunnya prestasi yang diperoleh. Hal ini tentu harus dicari jalan keluarnya, namun demikian sebagai langkah awal penelusuran terhadap penyebab kesulitan belajar merupakan hal penting untuk diketahui dan dipetakan lebih awal.
Secara garis besar faktor faktor yang menjadi penyebab timbulnya kesulitan belajar ada dua macam yakni :
1. Faktor intern siswa, yakni hal hal atau keadaan keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.
2. Faktor ekstern siswa, yakni hal hal atau keadaan keadaan yang datang dan muncul dari luar siswa. (Muhibbin Syah:1995,173).
Mengatasi kesulitan belajar, tentu tidak dapat dipisahkan dari faktor faktor kesulitan belajar seperti di atas. Maka usaha untuk mencari sumber penyebab kesulitan primer dan skunder adalah menjadi mutlak perlu yang kesemuanya dalam rangka sistematika penyembuhan kesulitan belajar. Secara umum ada enam tahapan yang akan dilakukan orang untuk mengatasi kesuilitan belajar yang terlanjur dialami siswa yakni :
1. Pengumpulan data
2. Pegolahan data
3. Diagnosis
4. Prognosa
5. Tratmen/perlakuan
6. Evaluasi. (Abu Ahmadi, Widodo S:1991,92).
Penjabaran enam hal di atas tidak diuraikan dalam pembahasan ini, hanya saja disarankan untuk mendalaminya dalam mata kuliah Bimbingan dan Konseling. Untuk kepentingan psikologi pendidikan, sampai disini ditegaskan bahwa untuk melaksanakan diagnosis kesulitan belajar ini disarankan dengan menggunakan rambu rambu yang ditetapkan seperti dijelaskan oleh Ross dan Stanley (1956,332) sebagai berikut :
| 5. How can error be provented ? Bagaimana kelemahan dapat dicegah ? |
| ||||||
| 4. What remedies are suggested ? Penyembuhan apakah yang disarankan ? |
| ||||||
| 3. Why are the erros occur ? Mengapa kelemahan itu terjadi ? |
| ||||||
| 2. Where are the errors located ? dimanakah kelemaha itu dapat dialokasikan ? |
| ||||||
1. Who are populis having trouble ? Siapa siapa siswa yang mengalami gangguan ? | ||||||||
Gambar 8
Tahapan Diagnosis Kesulitan Belajar
Gambar di atas diharapkan dapat menjadi satu rambu rambu prosedur untuk melakukan diagnosis terhadap kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Dengan cara tersebut kesulitan yang memang kerap dialami oleh peserta didik tidak menjadi kendala dalam kegiatan proses pembelajaran yang dilakukan. Artinya langkah langkah yang digunakan akan diterapkan oleh pendidik jelas mempunyai sistematika disetiap upaya pendekatan, penyelesaian dan jalan keluar yang akan ditempuh.
B. Lupa dalam Belajar
Satu penomena yang selalu menjadi masalah dalam pembelajaran adalah ketika peserta didik tidak dapat menceritakan kembali apa yang telah dipelajari. Hal tidak dapat menceritakan kembali secara sederhana disebut dengan “lupa”. Lupa dalam konteks pembelajaran merupakan bagian integral dari proses itu sendiri artinya terjadinya lupa sangat tergantung dengan kegiatan yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Dalam tujuan psikologi pendidikan maka lupa akan dijabarkan pada empat hal yakni :
1. Pengertian Lupa
Lupa menurut pengertian dasarnya adalah lepas dari ingatan; tidak dalam pikiran (ingatan) lagi. (Departemen P dan K RI:1990,538). Dalam wacana psikologi lupa kehilangan kemampuan untuk mengingat, mengingat kembali, atau menimbulkan kembali dalam ingatan sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. (CP. Chaplin:1989,197). Lupa juga diartikan sebagai; ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. (Reber Athur S:1988).
Pengertian pengertian di atas menggambarkan bahwa lupa lebih bermakna psikologis dimana terjadinya pada saat sederhana lupa dapat diartikan sebagai; keadaan dimana terjadi proses penghapusan informasi yang mengakibatkan jejak jejak ingatan hilang atau menjadi kabur (info jarang digunakan lagi).
2. Penyebab terjadinya lupa
Gejala lupa sebagai fenomena psikologis mengundang para psikolog mencari apa yang menjadi latar belakang penyebab terjadinya lupa. Sementara itu pada paedagog juga tidak ketinggalan, satu hal yang sangat dirasakan riskan ketika pendidik menyampaikan materi pelajaran dengan usaha maksimal, namun peserta didiknya paham saat ketika belajar dan lupa saat keluar dari ruangan belajar.
Banyak hal yang terkait ketika lupa menjadi sebuah gejala dalam proses pembelajaran. Intinya bahwa proses pembelajaran adalah mengkaitkan satu item dengan item lainnya disaat mana lupa menjadi bagian item tersebut. Dalam hal ini dijelaskan bahwa penyebab lupa sedikitnya ada enam yakni sebagai berikut :
a. Lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item item informasi atau materi yang ada dalam sistem memory siswa.
b. Lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja ataupun tidak.
c. Lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali.
d. Lupa dapat terjadi karena perubahan sikap minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu.
e. Lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa.
f. Lupa dapat terjadi karea perubahan urat syarat otak. (muhibbin Syah:1995,158).
Sementara itu menurut pendapat lain bahwa lupa terjadi pada peserta didik tidak semata mata disebabkan oleh faktor biologis yang memang permanen keadaannya sesuai dengan irama perkembangan psikologis anak, akan tetapi dikarenakan proses interaksi informasi yang dilakukan oleh pendidik ketika pembelajaran. Untuk kepentingan psikologi pendidikan maka penyebab lupa dibagi dalam tiga hal, yakni :
a. Karena apa yang dialami tidak pernah digunakan lagi.
b. Karena adanya hambatan hambatan yang terjadi disebabkan oleh gejala isi jiwa yang lain.
c. Karena gejala represi. (M. Ngalim Purwanti\o:1997,117).
Jelaslah lupa terjadi diakibatkan oleh faktor baik itu faktor psikologis peserta didik maupun faktor biologis, faktor paedagogis dan faktor lainnya. Pentingnya pemahaman tentang penyebab terjadinya lupa akan menghantarkan bagaimana cara mengatasi lupa dalam belajar.
Sementara itu dalam literatur lain tentu kemampuan pendidik untuk mendisain pembelajaran yakni dengan menjadikan peserta didik sebagai bagian integral pengajaran adalah perlu diartikan untuk menjadikan materi pengajaran dapat benar benar diterima peserta didik maka strategi pendidik sangat dibutuhkan seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Filosof China Dr. Sut Yat Sen (Roem Topatimasang dkk:1990).
Saya dengar saya lupa
Saya lihat saya ingat
Saya lakukan saya paham
3. Proses Lupa
Saat saat terjadinya lupa merupakan gejala yang sangat sensitif dalam proses pembelajaran. Kadang waktu ujian pengelaman peserta didik sangat penting untuk mengulang apa yang telah dipelajari, namun usaha untuk mengingat sulit dilakukan dan lupapun terjadi pada sat itu.
Dalam proses pembelajaran sedikitnya ada tujuh fase yang dilakukan oleh pendidik yakni :
a. Fase motivasi
c. Fase konsentrasi
d. Fase meglah
e. Fase menyimpan
f. Fase a. Menggali 1
b. Menggali 2
g. Fase prestasi
h. Fase umpan balik. (WS. Winkel:1997,209).
Pembagian fase fase pembelajaran seperti di atas, disatu sisi adalah menjadi rambu rambu bagi para pendidik untuk mendisain rancangan pengajaran yang akan dilakukan. Kemudian proses pembelajaran tersebut dalam hal ini akan dilihat saat mana terjadi lupa menurut WS. Winkel dapat dipetakan dimana pendidik dapat melakukan interaksi dengan peserta didiknya. Saat tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Fiksasi Retensi Evokasi
| | | | |
(ecoding) (storage) (retrieval)
F. Konsentrasi (Fase 2) | F. Mengolah (Fase 3) | F. Menyimpan (Fase 4) | F. Menggali (Fase 5) | F. Prestasi (Fase 6) | |||||
| | | | ||||||
| Keluar | Keluar | | Lupa | | ||||
Gambar 9
Proses Saat terjadinya Lupa
Gambar di atas menunjukkan satu sistematika dimana saat terjadi lupa ada satu rangkaian dengan fase lain. Artinya lupa tidak berdiri sendiri sebagai satu gejala tunggal dalam pembelajaran, akan tetapi sebuah proses yang terkait antara satu fase dengan fase lain.
4. Usaha Mengurangi Lupa
Sampai pembahasan ini jelas bahwa lupa tidak merupakan gejala tunggal yang dialami peserta didik pada proses pembelajaran, untuk itu harus didekati dari rangkaian pembelajaran secara utuh baik dengan fase fase pembelajaran maupun dengan faktor pembelajaran. Berkaitan dengan usaha mengurangi kelupaan pada peserta didik beberapa ahli yang pernah meneliti hal ini yakni; Barlow Daniel Lenox:1985, Anderson John R:10\990 mereka sependapat bahwa banyak kiat yang dapat dilakukan oleh peserta didik agar lupa dapat diatasi.
Dari beberapa pendapat tersebut usaha yang dapat dilakukan secara praktis oleh peserta didik adalah :
a. Overlearing (belajar lebih)
b. Exta Study Time (tambahan waktu belajar)
c. Memonic Device (muslihat memori)
d. Clustering (pengelompokan)
e. Distributed praktice (latihan terbagi)
f. The serial position effecit (pengaruh letak bersambung (Muhibbin Syah:1995,161).
Berkaitan dengan faktor penyebab terjadinya lupa maka hal ini akan dijadikan dasar untuk upaya penanggulangannya, yakni sebagai berikut :
a. Mengurangkan lupaan sebab tidak digunakan.
b. Mengurangkan lupaan akibat dari pada pengurusan ingatan.
c. Untuk menggelakkan lupaan yang disebabkan oleh gangguan.
d. Mengelakkan lupaan yang disebabkan penekanan. (Atan Long:1988,404).
Usaha mengurangi lupa yang dapat dilakukan oleh pihak pendidik adalah diawali dari sejak perancangan pembelajaran. Paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan secara seksama yakni :
a. Seorang pendidik harus menata disain pembelajaran dengan memperhatikan titik materi apa yang harus dikuasai peserta didik setelah pembelajaran berlangsung.
b. Seorang pendidik harus berbahasa yang sistematis agar materi yang disampaikan mudah dikenal, dipahami dan diingat artinya tidak dilupakan peserta didik.
c. Seorang pendidik harus memberi penguatan dalam proses pembelajaran, agar materi yang disampaikan benar benar sampai kepada sasaran yang diinginkan.
C. Bimbingan Belajar
Masalah belajar merupakan kegiatan inti dalam proses pembelajaran khususnya di lembaga pendidikan. Untuk itu masalah yang menyangkut dengan persoalan belajar sejak perencanaan, kegiatan atau proses, evaluasi sejak pada tindak lanjut kegiatan pembelajaran merupakan hal penting yang harus selalu diperhatikan biak oleh peserta didik terlebih lebih bagi pendidik sendiri.
Masalah belajar dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menjadikan peserta didik sulit atau payah untuk melakukan kegiatan belajar dalam hal mencapai tujuan instruksional. Terjadinya kesulitan dan kepayahan inilah yang dijadikan alasan maka siswa memerlukan jalan keluar dan tugas pendidik adalah memberikan bimbingan tes kepada individu dalam menghadapi pesoalan persoalan yang (dapat) timbul dalam hidupnya. (WS Winkel:1998,11).
Dalam prakteknya kegiatan bimbingan yang dilakukan oleh para pendidik terhadap peserta didik memang beragam, akan tetapi yang cukup dipahami dakam hal ini adalah bahwa makna dan tujuan dari kegiatan bimbingan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Memberikan informasi, yaitu menyajikan pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengambil suatu keputusan, atau memberitahukan sesuatu sambil memberi nasehat.
2. Mengarahkan, menuntun kesuatu tujuan. Tujuan itu mungkin hanya dikaitkan oleh pihak yang mengarhan, mungkin perlu diketahui oleh kedua belah pihak. (WS. Winkel:1991,57).
Betapa besarnya peranan pendidik dalam melakukan bimbingan adalah menjadi bagian yang menyatu dengan tugasnya sebagai pengajar. Sekali lagi dalam hal ini dijelaskan bahwa; mengajar adalah membimbing seseorang atau sekelompok orang supaya belajar berhasil. (Chalidjah Hasan:1994,52).
Untuk itu pendidik sebagai pembimbing dituntut agar mengadakan pendekatan bukan saja melalui pendekatan instruksional akan tetapi dibarengi dengan pendektan yang bersifat pribadi (personal approach) dalam setiap proses pembelajar berlangsung. Menurut pandangan ini maka fungsi guru untuk membimbing siswa yang dapat diharapkan dari adalah sebagai berikut :
1. Memberikan berbagai informasi yang diperlukan dalam proses belajar.
2. Membantu setiap siswa dalam mengatasi masalah masalah pribadi yang dihadapinya.
3. Mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya.
4. Memberikan kesempatan yang menadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya.
5. Mengenal dan memahami setiap siswa secara individual maupun secara kelompok. (Abu Ahmadi, Widodo S.:1991,110).
Dalam batasan pembahasan ini hanya ditegaskan bahwa bimbingan terhadap kegiatan belajar siswa harus dilakukan oleh pendidik, karena disamping fungsinya sebagai pendidik pengajar, dan pembimbing juga pengganti orang tua. Peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, lupa dan banyak lagi hambatan akan dapat diselesaikan persoalannya bila kegiatan bimbingan dilakukan oleh pendidik.
BAB VI
PENDIDIKAN KEPRIBADIAN
A. Pengertian Kepribadian
Dalam kehidupan sehari hari sering dijumpai satu orang individu berinteraksi dengan individu lainnya kadang menghadapi masalah, kadang akur dan kadang pula konflik. Hal ini merupakan fenomena wajar yang harus diterima sebagai kenyataan hidup, sebagai satu gejala yang ada dalam diri manusia. Karena merupakan kenyataan, maka penelitian tentang interaksi individu tersebut dapat dilakukan secara ilmiah, kemudia hal ini merupakan gejala individu maka dapat didekati dengan psikologi.
Secara khusus psikologi yang mengkonsentrasikan pembahasan tentang hal ini adalah psikologi kepribadian. Pribadi manusia memang sangat unik, dan dengan keunikan tersebutlah maka seorang individu menemukan pribadinya ditengan pribadi pribadi lainnya. Ketika seorang antropolog dan psikolog Clyde Kuckhon dan Henry Muray (1954) bersatu untuk berpendapat, mereka membuat kategori manusia dalam tiga kelompok yakni :
Individu dalam segi segi tertentu adalah :
a. Seperti semua orang lain
b. Seperti sejumlah orang lain
c. Seperti tak seorang lainpun. (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey:1994,5).
Penyelidikan tentang individu dari segala bentuk keunikan dan karakteristiknya semakin penting khusunya dalam dunia pendidikan. Ada dua hal tujuan utama yang harus diperhatikan dalam hal ini yakni :
1. Penelitian tentang hakekat dan ruang lingkup perbedaan individual dalam proses proses psikologis
2. Usaha menemukan hubungan antara proses proses mental yang terdapat pada individu agar dapat membagi sifat sifat manusia dalam berbagai kelompok dan agar dapat menetapkan fungsi fungsi manakah yang paling mendasar. (Samuel Soeitoe:1982,46)
Pernyataan tersebut menjadi awal dari pemetaan dimana setiap individu mempunyai keunikan, yang dengan keunikan itulah ia memiliki kemapuan dan kelemahan apakah dengan membandingkannya dengan individu lain atau dengan menyamakannya. Psikologi berangkat dari suatu kesadaran bahwa tiap individu lahir dimuka bumi memiliki karakteristik berbeda antara satu dengan lainnya.
Psikologi kepribadian sesungguhnya bukan ilmu baru namun sudah berdiri sejak lama, beberapa nama psikologi kepribadian yang selalu disamakan adalah Charakteorologie, Psychology of Personality ada juga The Psychology of Character atau ada juga Theory of Personality. Dalam wacana keilmuan di Indonesia psikologi kepribadian selalu juga disebut dengan Ilmu Watak, Ilmu Perangai atau Karakterologi, Teori Kepribadian dan Psikologi Kepribadian. (Sumadi Suryabrata:1986,1).
Sedikit tentang perkembangan psikologi kepribadian yang dibangun atas berbagai asumsi tentang bahwasannya hakekar dan martabat manusia menjdi sentral dari pembahasan akan ciri kepribadiannya, sampai abad terakhir terdapat banyak mazhab yang memiliki pengaruh besar terhadap dunia psikologi dan pendidikan. Perkembangan terakhir ditandai dengan kesuksesan psikologi transpersonal yang memberikan tawaran terhadap konsep manusia menurut dimensi yang lebih luas dan lebih bermakna. Tentang perkembangan diri secara luas, hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
Psikologi transpersonal adalah nama yang diberikan untuk suatu mazhab yang tengah bangkit dalam bidang psikologi oleh suatu kelompok yang tertarik pada kapasitas kapasitas dan potensi potensi dasar pada manusia yang tidak mendapatkan tempat sistematik dalam teori behavioristik (mazhab pertama), teori psikoanalitik klasik (mazhab kedua), atau atau psikologi humanistik (mazhab ketiga), atau psikologi humanistik (mazhab ketiga), psikologi transpersonal yang tengan timbul ini (mazhab keempat), secara khusus berbicara mengenai nilai nilai dasar, kesadaran yang mempersatukan pengalaman pengalaman puncak, ekstase, pengalaman mistik, perasaan terpesona, ada, aktualisasi diri, hakikat, kebahagiaan, keajaiban, arti dasar, transendensi diri, roh ketunggalan, kesadaran kosmik dan konsep konsep, pengalaman pengalaman serta aktivitas aktivitas yang berhubungan. (Calvin S. Hall & Garder Lindzey:1994,233).
Dalam dunia kependidikan maka pengenalan terhadap potensi manusia sebagai individu sangat penting, dimana pengenalan tersebut diawalai dari pemahamanterhadap keutuhan kepribadiannya. Menurut William James bahwa kebanyakan orang secara fisik, intelektual maupun secara moral hidup dalam lingkaran potensi mereka yang sangat terbatas yang disebut manusia normal. (Frank G.Goble:1993,248). Kini bagaimana menggali potensi tersebut tentu diawali dengan mengenalnya dan memahaminya secara tepat dan benar, inilah lapangan atau kajian dari psikologi kepribadian secara formal.
Banyaknya lahir teori teori tentang kepribadian bermunculan diabad ke-20 akibat dari semakin ramainya teori psikologi menangkap penomena perkembangan kebudayaan manusia. Oleh para ahli pengkategorian teori kepribadian ditinjau atas dasar komponen yang dipakai sebagi landasan dalam penyusunan rumusan teoritis adalah sebagai berikut :
1. Teori teori konstitusional, seperti teori mazhab Italian, mazhab Perancis, Krestschement, Sheldon dan lainnya.
2. Teori teori temperament, seperti teori Kant, Meumann, Enselhans, Heymans, Ewald dan lainnya.
3. Teori ketidak sadaran, seperti teori Freud, Jung, Adler dan pengikut mereka.
4. Teori faktor, seperti teori Eysenck, Cattell dan lainnya.
5. Teori kebudayaan, seperti teori Spranger. (Sumadi Suryabrata:1986,4).
Dalam pembahasan ini penulis ingin menyajikan suatu teori kepribadian yakni dari Spranger dimana ia memberikan lukisan sejumlah type type di dalam penggambaran yakni sikap mengarah kepada nilai kebudayaan tertentu adalah memegang peranan yang dominan. Menurutnya bahwa sikap yang mengarah pada pemegangan dominan tertentu akan mempengaruhi sikap sikap lainnya. (Petrus Sardjonoprijo:1982,162).
Adapun sikap yang dominan kemudian menjadi permanen dapat dibedakan dalam enam bidang kebudayaan dengan type type serasi sebagaimana dijabarkan pada gambar berikut:
No | Nilai Kebudayaan | Type | Typering Singkat |
01 | Ilmu pengetahuan | Manusia teoritis | Ia berfikir Berteori Mencari ilmu |
02 | Ekonomi | Manusia ekonomis | Ia bekerja Cari untung Hemat |
03 | Kesenian | Menusia estetis | Ia menikmati Menghayati |
04 | Agama | Manusia religius | Ia menyembah Berbakti Beribadah |
05 | Masyarakat | Manusia sosial | Ia mengabdi Berkorban Altruis |
06 | Politik negara | Manusia politik/penguasa | Ia memerintah berkuasa |
Gambar 10
Typologi Menurut Spranger
Typologi Spranger ini tentu bukan paling sempurna namun dapat dianggap mewakili dari penataan typologi para ahli dalam membedakan individu menurut kecenderungan kebudayaan. Inilah salah satu dari upaya pengenalan terhadap kepribadian. Dengan itu pula ditarik berbagai teori untuk kepentingan pendidikan sehari hari oleh para paedagog atau juga para perancang pembelajaran di kelas. Walau sesungguhnya masih banyak lagi teori kepribadian yang lain namun untuk pembahasan ini hanya dibatasi pada satu contoh saja.
B. Sifat Temramen dan Watak
Memandang manusia sebagai satu keutuhan kepribadian tentu harus didasari oleh adanya pengetahuan bahwa manusia sebagai individu terdiri dari komponen komponen fisik, mental dan eksistensi. Artinya komponen fisik yang tampak memberi konstribusi terhadap terhadap perkembangan fsikhis dan pada gilirannya akan menciptakan satu kondisi pada individu ditengah tengah makhluk lainnya. Jelasnya banyak komponen yang harus diperhatikan dalam membangun satu kepribadian yang utuh dan padu.
Aspek kepribadian yang akan dibangun dalam dunia pendidikan didukung oleh berbagai aspek, dimana aspek kepribadian tersebutlah yang menjadi lapangan psikologi kepribadian. Terdapat tiga aspek penting dalam hal ini yakni :
a. Sikap adalah hasil dari pengaruh lingkungan.
b. Temperamen hampir tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan
c. Sifat berada ditengah tengah merupakan percampuran antara sifat sifat pembawaan dan pengaruh lingkugan. (M. Ngalim Purwanto:1987,145).
Dalam hal ini pendidikan diartikan sebagai proses pembimbingan, pembinaan terhadap potensi manusia, maka pengenalan terhadap suasana individu tersebut dalam pendekatan psikologi kepribadian diwakili oleh tiga hal yakni temperamen dan watak. Diketahui bahwa temperamen dan watak yang tetap dan watak adalah suatu yang dapat berubah karenanya dapat dipengaruhi, diperbaiki dan dimajukan. (Agus Sujanto:1985,102).
1. Sifat
Sifat merupakan suatu karakteristik yang membedakan satu individu dengan individu lainnya. Kata “sifat” (traits) dalam istilah psikologi, berarti ciri ciri tingkah laku yang tetap (hampir tetap) pada tiap seseorang.
Menurut Alport seorang ahli psikologi, sifat merupakan disposisi yang dinamis dan flaksibel dihasilkan dari pengintegrasian kebiasaan kebiasaan khusus/tertentu, yang menyatakan diri sebagai cara cara penyesuaian yang khas terhadap lingkungannya. Disposisi itu sendiri diartikan sebagai kecenderungan masa lalu atau pengalaman yang ada pada masa lampau.
Sekali lagi ditegaskan dalam hal ini bahwa sifat adalah ciri dari tingkah laku atau perbuatan yang banyak dipengaruhi oleh faktor faktor dari dalam diri seperti pembawaan, minat, konsentrasi tubuh dan cenderung bersifat tetap/stabil.
2. Temperamen
Temperamen masih berhubungan erat dengan konstitusi jasmaniah dan bentuk badan. Kata “temperamen” berarti “campuran” dari hasil hasil cairan yang terdapat di badan manusia karenanya ia termasuk konstitusi psikis manusia. Menurut para ahli temperamen dapat diartikan sebagai sifat sifat kehidupan perasaan manusia yang umum dan formal dimana sifat itu timbul dalam reaksi, gerak tindak dan sebagainya.
Dalam pembagiannya temperamen ini merangkum seluruh sifat sifat umum secara rinci dibagi dalam tiga hal yakni :
a. Steming Dasar
Steming dasar adalah keadan perasaan yang berlangsung beberapa waktu lamanya, dan tidak sesaat (momentum) yang selalu berganti ganti.
Macam macam dari Steming dasar ini adalah; kegembiraan, keriangan, ketidakpuasan, kemurungan dan lainnya.
b. Sifat sifat normal penghayatan
Sifat ini adalah sifat umum tertentu dari pada penghayatan, terutama dari pada perasaan.
Macam macam dari sifat normal penghayatan tersebut meliputi : mudah tergerak tidaknya kehidupan perasaan, intensitas perasaan, mendalamnya perasaan, lamanya dan ketetapan perasaan.
c. Sifat formal reaksi dan penghayatan
Sifat ini adalah bagaimana keadaan temperamen yang mencetus keluar dan mewujud dalam reaksi serta gerak tingkah laku.
Macam macam dari sifat ini meliputi; tempo, daya kekuatan, lamanya, bentuk gerak tingkah laku dan lainnya.
3. Watak
Watak ialah pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan pernyataan, dalam hubungannya dengan; bakat, pendidikan, pengalaman dan alam sekitarnya. Watak juga dapat diartikan sebagai karakter seluruh aku yang ternyata dalam tindakannya (insani, jadi dengan pilihan) terlibat dalam situasi, jadi memang di bawah pengaruh dari pihak bakat, temperamen, keadaan tubuh dan lain sebagainya.
Dengan dasar hal di atas, maka untuk usaha pendidikan watak selalu disebutkan sebagai obyek yang dapat dididik dibina dan dikembangkan. Karena memang watak merupakan keadaan jiwa yang tetap, tempat semua yang ada di dalam alam kejiwaan, jadi dengan hal tersebut watak akan tampak dari adanya kemauan dan perbuatan seseorang.
Dalam pembagian watak untuk terapi pembinaan individu maka Kerschensteiner membagi watak dalam dua kategori yakni :
a. Watak Biologis
Ialah watak yang mengandung nafsu/dorongan insting yang rendah, yang terikat kepada kejasmanian dan kehidupan biologisnya, watak ini dapat diubah dan dididik.
b. Watak Intelijen
Ialah watak yang bertalian dengan kesadaran dan intelijensi, dimana watak ini mengandung fungsi jiwa yang tinggi seperti kekuatan kemauan, kemampuan membentuk pendapat atau berfikir, kehalusan perasaan. (M.Ngalim Purwanto:1987,147).
Watak sebagai bagian dari kepribadian tentu menjadi dasar awal bagi seorang pendidik untuk mengenal jiwa peserta didiknya. Disadari bahwa perbedaan individu disamping karena karakter tertentu juga karena watak yang ia miliki selama ini dan dari sanalah pendidikan dilaksanakan.
C. Kedudukan Keluarga dalam Pembentukan Kepribadian
Keluarga adalah persekutuan atau organisasi terkecil yang ada dimuka bumi ini tetapi mempunyai peran yang terbesar dalam menentukan perkembangan kepribadian anggotanya. Setiap individu kita adalah anggota dari satu keluarga dari kelaurga keluarga tersebutlah terbentuk satu kelompok masyarakat dan akhirnya terciptalah komunitas masyarakat yang lebih luas yakni negara, bahkan ummat di muka bumi ini.
Berbagai teori banyak dikemukakan para ahli tentang eranan keluarga dalam pengembangan dan pembinaan anak dimasa pertumbuhan dan perkembangannya. Hakikat sebuah keluara dijadikan dasar untuk usaha pembinaan tersebut. Dalam agama Islam keluarga dibangun atas dasar syari’at dalam hal ini terdapat nilai nilai tujuan pembentukan keluarga yang sangat penting artinya yakni :
1. Mendirikan syari’at Allah dalam segala permasalahan rumah tangga
2. Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis
3. Mewujudkan sunnah Rasulullah SAW, dengan melahirkan anak anak saleh sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadirannya.
4. Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak anak.
5. Menjaga fitrah anak agar anak tidak melakukan penyimpangan penyimpangan. (abdurrahman An Nahlawi:1995,139).
Pada bagian berikutnya maka tanggung jawab sebuah keluarga terhadap pendidikan anak begitu besar dan sangat strategis, artinya dikeluargalah penentuan anak apakah ia akan dijadikan orang yang baik atau tidak baik. Dengan dasar tersebut pula maka proses pendidikan dan pengajaran yang dilakukan di sekolah melakukan kontak dan kerjasama. Dalam hal ini pihak sekolah harus memperhatikan hal hal berikut :
1. Mengeri anak anak dan orang tua yang bukan berasal dari middle class.
2. Punya kesan baik terhadap sekolah maupun keompok lain di luar sekolah.
3. Diusahakan mendapatkan curikulum bagi keduanya. (koestoer Partowisastro:1983,90).
Keluarga itu terdiri dari pribadi pribadi, tetapi merupakan bagian bagian dari jaringan sosial yang lebih besar. Oleh sebab itu kita selalu berada di bawah pengawasan saudara saudara kita, yang merasakan bebas untuk mengeritik, menyarankan, memerintah, membujuk, memuji atau mengancam agar kita melakukan kewajiban yang telah dibebankan kepada kita. (Williem J. Goode:1985,9). Dalam hal ini tentunya kekuatan keluarga untuk membangun kepribadian anak sangat besar sekali. Dalam keluarglah anak mulai mengenal apa yang disebut dengan individu, sendiri, bersama, berkelompok, egois, altruis dan lain sebagainya.
Pengendalian keluarga tersebut adalah diperankan oleh orang tua, dengan demikian peran orang tua mempunyai arti yang sangat besar bagi upaya pembinaan dan pembentukan kepribadian anak sesuai dengan yang diinginkan oleh tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Karena itulah pemerintah menjadikan pendidikan keluarga sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. (Departemen P dan K Ri:1990).
Membangun keluarga sebagai pusat pembinaan kepribadian anak dalam hal ini ditegaskan pada tiga fungsi utama yakni :
1. Keluarga sebagai rumah ibadah
Artinya dalam keluargalah dirintis untuk dilaksanakannya rancang bangun pendakian spritual, jiwa dan mental anak agar memiliki jiwa beragama, jiwa bersosial dan jiwa kemanusiaan yang tinggi.
2. Keluarga sebagai rumah sakit
Artinya pusat kebersihan dan kesehatan yang harus diciptakan untuk menopang pembangunan individu dari segi fisik sehingga membina anak untuk kuat dan sehat menjadi generasi yang handal.
3. Keluarga sebagai rumah sekolah
Artinya dalam keluarga harus terjadi interaksi saling mengasihi, saling menyayangi dan mengeri akan fungsi dan peran tiap unsur keluarga. Ayah, Ibu, anak dan anggota keluarga lainnya diharapkan dapat berinteraksi membentuk satu komunitas yang harmonis dengan itu pulalah keluarga dapat menjadi sakinah, mawaddah, dan warahmah menurut pandangan Islam.
Dasar dasar di atas diharapkan dapat menjadi fondasi bagi upaya pembentukan kepribadian anak, karena dengan dasar fungsi dan peran keluarga yang dapat dan benar maka pembinaan dan pembentukan anggota keluarga khusunya anak anak akan dapat dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR BACAAN
Abdurrahman An Nahwali (1995), Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta, Grafiti Press.
Abin Syamsuddin Makmun (1998), Psikologi Kependidikan, Bandung Remaja Rosdakarya.
Abu Ahmadi, Widodo Supriyono (1991), Psikologi Belajar, Jakarta, Rineka Cipta.
Agus Sujanto (1986), Psikologi Perkembangan, Jakarta, Rajawali.
Agus Sujanto (1985), Psikologi Umum , Jakarta, Rajawali.
Ahmad Mudzakir, Joko Sutrisno (1997), Psikologi Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia.
Ahmad Thonthowi (1993), Psikologi Pendidikan, Bandung, Angkasa.
Akhyas Azhari (1996), Psikologi Pendidikan, Semarang, Dina Utama.
Anderson John R (1990), Cognitive Psychology and Its Implecation, New York, W, H. Freeman and Company.
AN. Fandsen (19961), The Principles of Learning and Teaching.
Anwar Bey Hasibuan (1994), Psikologi Pendidikan, Medan, Pustaka, Widyasarana.
Atan Long (1988), Psikologi PEndidikan, Kuala Lumpur, Adabi. SDN.
Benjamin S. Blomm (ed) (1956), Taxonomy of Educational Objectives, New York, David. Mc. Kay Company, Inc.
Berlow Daniel Lenox (1985), Educational Psychology, Chicago, The Mody Bible Institute.
Calvin S. Hall, Gardner Lindzey (1993), Teori Teori Psikodinamik (Klinis), Terj. A. Supratiknya, Yogyakarta, Kanisius.
Calvin S. Hall, Gardner Lindzey (1993), Teori Teori sifat dan Behavioristik, Terj. A. Supratiknya, Yogyakarta, Kanisius.
Calvin S. Hall, Gardner Lindzey (1993), Teori Teori Holistik (Organismik Fenomenologis), Terj. A. Supratiknya, Yogyakarta, Kanisius.
Chalidjah Hasan (1994), Dimendi Dimensi Psikologi Pendidikan, Surabaya, Al Ikhlas.
CP Chaplin (1998), Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, Rajawali.
Departeman P dan K RI (1990), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
Departeman P dan K RI (1990), Undang Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Armas Duta Jaya.
Endang Saifuddin Ansari (1987), Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu.
Frank G. Goble (1993), Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yokyakarta, Kanisius.
Gage N. L. And Berliner D. C. (1998), Educational Psychology, Boston, Houghton Miffin Company.
HC. Witherington (1986), Psikologi PEndidikan, Terj. M. Buchari, Bandung, Jemmars.
Jonathan L. Freedman (1986), Introductionary Psychology, New York, Addison-Wsley Publiching Company.
Jujun S. Suriasumantri (1984), Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Gramedia
Koestoer Partowisastro (1983), Dinamika dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta, Erlangga. (jilid 1,2,3)
Lester D. Crow, Alice Crow (1987), Psikologi Pendidikan, Terj. Z. Kasizan, Surabaya, Bina Ilmu. (Jilis 1,2)
M. Dalyono (1997), Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta.
M. Dimyati Mahmud (1990), Psikologi Pendidikan, Yogyakarta, BPEE.
M. Ngalim Purwanto (1987), Psikologi Pendidikan, Bandung, Remadja Karya.
Muhibbin Syah (1999), Psikologi Belajar, Jakarta, Logos.
Muhibbin Syah (1995), Psikologi Pendidikan, Bandung, Remadja Karya.
Mustaqim, Abdul Wahib (1991), Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta.
Nana Sudjana (1991), Teori Teori Belajar untuk Pengajaran, Jakarta, FE. UI.
Noehi Nasution dkk (1993), Psikologi Pendidikan, Jakarta, UT.
Oemar Hamalik (1992), Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung, Sinar Baru.
Petrus Sarjonoprijo (1982), Psikologi Kepribadian, Jakarta, Rajawali.
Pintner R. (1951), Educational Psychology, New York, Barner & Neble.
Robert Arthur S. (1988), The Pinguin Distionary of Psychology, Ringwood Victoria, Pinguin Book Autralia Ltd.
Robert L. Solso (1979), Cognitive Psychology, New York, Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Roem Topatimasang (1990), Belajar dari Pengalaman, Jakarta. P3M.
Ross CC and Stanley JC (1954), Measurement in Today’s Scools, NY. Prentice-Hall.
Samuel Soeitoe (1982), Psikologi Pendidikan, Jakarta, FU. UI. (Jilid 1,2).
Slameto (1988), Belajar, Jakarta, Bina Aksara.
Sudirman N. Dkk (1992), Ilmu Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Sumadi Suryabrata (1986), Psikologi Kepribadian, Jakarta, Rajawali.
Sumadi Suryabrata (1995), Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rajawali.
Tadjab (1994), Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya, Karya Abditama.
Wasty Soemanto (1987), Psikologi Pendidikan, Jakarta, Bina Aksara.
Willem J. Goode (1985), Sosiologi Keluarga, Jakarta, Bina Aksara.
WS. Sinkel (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta, Gramedia.
WS. Sinkel (1991), Bimbingan di Sekolah Menengah, Jakarta, Gramedia.
WS. Sinkel (1991), Psikologi Pengajaran, Jakarta, Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar